Dari “Sakit” Setnov, Konfirmasi Wadah Tunggal IDI
TRANSINDONESIA.CO – by: Muhammad Joni – Komunitas Sahabat Dokter
Penyidik KPK bukan dokter dan juga bukan hakim. Walau superbody memberantas kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) tindak pidana korupsi, sekali lagi KPK bukan dokter. Lantas, akankah gambar pasien yang layu terkulai, benjol dan runtuh lantas, mengonfirmasi sang pasien sakit?
Untuk memastikan sehat atau tidak, ataupun menangkis seribu “jurus sakit” ala Tersangka, pas jika KPK meminta bantuan pemeriksaan dan pendapat dokter. Untuk itulah KPK bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mendefenisikan sehat atau sakit. Dasar membuat tindakan Pro Justisia: dirawat atau ditahan.
Syukurlah, opini dan polemik langsung berhenti dengan terbitnya pendapat dokter yang memiliki kompetensi medis. Di titik ini, dokter musti dalam satu standar kompetensi. Satu asosiasi.
IDI yang tunggal, sekali lagi IDI yang tunggal dalam ‘satu tubuh’ adalah asas yang sahih. Untuk apa? Demi kepentingan kolektif atas pelayanan kesehatan, dan dengan setarikan nafas menjaga Profesional Trust dokter sebagai tenaga medis.
Semisal ikhwal status kesehatan Setnov, apa jadinya jika asosiasi profesi dokter tidak tunggal? Bisa jadi defenisi sehat atau sakit jamak standar.
Demi kepentingan publik, terkonfirmasi betapa IDI musti wadah tunggal profesi dokter. Ini hikmah dan tamaddun (peradaban) mengapa beralasan dan musti dipertahankan ‘satu tubuh’ asosiasi dokter dalam/sebagai IDI.
Jika jamak organisasi profesi dokter? Dipastikan, merugikan publik. Jangan ambil resiko dan segera bertindak jika ada upaya membelah IDI.
Jika tidak tunggal, status kesehatan pasien, standar kompetensi medis, standar pendidikan kedokteran akan terbelah. Menjadi tragedi standar kedokteran. Terjadi kekacauan standar pelayanan kesehatan dan perlakuan medis. Itu sangat mengerikan jagat kesehatan! Yang rugi negara, masyarakat dan pasien.
Istimewa Sebab Tanggungjawab
Dokter profesi istimewa. Begitu pendapat yang diturunkan Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa? Sebab dokter terikat dengan 3 norma sekaligus: etik, disiplin dan hukum.
Cuma dokter/dokter gigi yang boleh bertindak atas tubuh pasien seperti membedah yang faktual membuka otot dengan membelah kulit, jaringan dan otot, atau mencabut gigi pasien akan tetapi tidak dikualifikasi delik. Bukan kejahatan atas tubuh orang lain.
Ini yang dikenali sebagai kompetensi medis. Nah, opini yang diberikan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dengan berbasis fakta medis pasien dan hasil periksa laboratoris. Tindakannya base on evidance.
Artinya? Tidak bisa dengan melihat foto atau reproduksi gambar amatir, apalagi dari seliweran jagat sosial medis, yang belum tentu benar apalagi otentik.
Pendapat dan saran tindak dokter melalui tahap periksa, amati langsung gejalanya dan disokong hasil pengujian laboratorium yang dilakukan profesi ahli dibidangnya. Namun untuk menilai dan memberikan saran tindak medis adalah wewenang dokter. Dokter dalam posisi sebagai “captain of the team” diantara tenaga kesehatan lain.
Dokter-lah yang memberi opini dan diagnosa, bukan perawat, nurs, ataupun ahli ronsen atau tenaga kesehatan lain, walau tenaga kesehatan lain paham membaca hasil laboratorium dan mengerti tindakan medis secara kua-teknis, tapi tak mempunyai kompetensi medis.
Pelajarannya? Hanya dokter-lah yang berwenang menilai status kesehatan. Bukan lawyer, tenaga kesehatan non dokter, apalagi warganet yang awam dan bukan pula dokter. Bukankah dokter tak boleh menilai tanpa periksa?
Katakanlah jika ada dugaan kekeliruan atau keganjilan, periksalah faktanya yang nyata. Ajukan saja melalui forumnya. Dengan batu uji 3 norma tadi.
Etika diuji dengan Kode Etik. Sudah lama diakui dan dijaga Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dugaan pelanggaran disiplin diuji dengan norma disiplin. Forum ‘pengadil’-nya adalah MKDKI, akronim dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang independen dalam wadah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Keduanya dibentuk UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Dugaan pelanggaran hukum diuji dengan norma hukum, baik pidana ataupun perdata. Walaupun, jangan pula anda gagal membedakan mana resiko medis dengan mal-praktik medis. Forum ‘pengadil’-nya adalah peradilan umum mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Malah sekarang mulai berkembang mediator kesehatan.
Penjelasan di atas diharapkan menjadi pencerahan kepada publik dan mencegah membiaknya berita Hoax atau pendapat sembarangan. Jangan tergelincir pada lelaku gebyah uyah antara norma etik, norma disiplin dan norma hukum. Walaupun di sana sini ada arsiran dalam hal tertentu dan penting.
Hemat penulis, dengan terikat pada 3 norma itu justru membuat profesi dokter paling terkonsolidasi dalam mekanisme tanggungjawab profesinya dan dalam menilai kompetensi medis.
Tidak elok jika membahanakan pendapat status medis seorang, hanya berdasarkan opini keliru, yang alpa dengan fakta sebenar dan bukan dari hasil pemeriksaan medis yang sahih.
Bravo IDI. Tahniah dokter Indonesia yang telah independen dalam membuat pendapat medis. Mematahkan jurus pura-pura sakit, klaim geger otak, atau pura-pura hilang ingatan.
Ini bukan hanya soal Setnov, tetapi menjaga independensi dokter dalam melakoni kompetensi medis. Demi menjaga profesional trust jagat kedokteran Indonesia.
Waspada-lah. Rawat-rawat-lah kepercayaan alias profesional trust, karena trust lebih cepat basi daripada nasi. Rawatlah the Whole Professional Trust dengan Zero Tollerance.
Sekaligus membuktikan dan konfirmasi betapa amat pentingnya wadah tunggal profesi dokter dalam “satu tubuh” sebagai IDI.
Hiruk pikuk tabrak tiang listrik itu, kiranya mencipta bonus sejarah yang membuktikan teramat penting monoloyalitas dokter hanya kepada kompetensi medis. Yang berpendapat dan bertindak dengan basis Body of Knowledge, dan egalitarian hanya untuk kepentingan kemanusiaan. Inilah istimewanya profesi dokter.
Hati dan akal sehat patik membuncah bangga berbaur bahagia menjadi lawyer untuk asosiasi dokter yang kompak dalam ‘satu tubuh’ wadah IDI.
Jangan belah dan terbelah duhai IDI, demi kepentingan publik yang lebih besar. Menjaga kesehatan rakyat.
Kiranya tepat, jagat kesehatan rakyat dipelihara oleh Negara. Dokter dalam wadah tunggal IDI, bertindak melayani pencari kesehatan di garda terdepan. Takdir yang mulia. Mandatory yang indah.Tahniah.*