Dana Desa untuk Masdarwis?

TRANSINDONESIA.CO – Mengelola anggaran bukanlah hal mudah. Dana desa digelontorkan ke desa-desa, dari desa akan bertanya buat apa? Seakan ada evoria ingin ini itu dan sebagainya yang akhirnya ingin dikantongi para pejabatnya.

Memberikan anggaran tanpa bimbingan dan menunjukkan kegunaan serta pertanggung jawabnya, ini merupakan penjerumusan dan penyesatan. Penerima dana desa bagi yang mampu akan dimanfaatkan untuk pengembangan desanya. Bagi yang takut dana itu lebh baik dikembalikan saja daripada menimbulkan masalah baru. Bagi yang berniat jahat dengan sigap mengembat dana itu, masalah lain urusan belakang.

Tidak adil rasanya bila ada yang dipenjarakan dari yang tertangkap tangan sampai dengan hasil penyidikan perkara pidana. Mengapa dikatakan tidak adil? Dana digelontorkan bagai roti dan borgol, kalau sukses anda menikmati roti kalau apes akan diborgol.

Desa Adat di Bali.[IST]
Adakah program-program yang diajarkan ke desa tentang pemberdayaan dana desa? Jawabanya pasti ada. Sudahkah disosialisasikan? Jawabnya pasti ada? Berapa kali dan berapa banyak macam model sosialisasi atau transformasinya? Ini jawabanya mungkin sekali atau sesekali bila lebih dari satu kali.

Apabila ditanya adakah pendampingan penggunaan dana desa? Lagi-lagi dengan lantang menjawab ada. Tetapi siapa dan bagaimana ini juga tidak jelas. Inilah yang semestinya dijelaskan dan dijabarkan pihak-pihak terkait.

Passion membagi bagi dana desa tentu bukan untuk rayahan apalagi penjarahan. Mungkin passion yang bisa dilakukan antara lain adalah untuk masyarakat sadar wisata (Mas Darwis).

Ini nomenklatur yang belum tentu tepat namun passion Mas Darwis ini setidaknya dapat menjadi acuan atau panduan para aparatnya untuk tidak malak. Jika kita jujur sebagian warga enggan bertemu dengan aparatnya.

Mengapa? Pada umumnya trauma atas perilaku para oknum aparat yang hobbynya malak dan bikin susah. Dari minta rokok, minta makan, minta bensin sampai dengan minta duit. Bahkan ada istilah “biar tipis tak apalah yang penting rutin”.

Bagaimana Mas Darwis tumbuh dan berkembang kalau aparatnya malah menjadi preman. Semua keperluan dibenturkan wpop (wani piro, oleh piro). Tanpa sadar para apartur malah menjadi benalu dan kutu bagi rakyat yang dilayaninya.

Ketika daerahnya kumuh, sepi tidak menghasilkan aparaturnya lewatpun memilih jalan lain. Namun tatkala menjadi lebih baik dan menjadi sumber daya berbondong-bondong ingin mengambil alih atau paling tidak dapat setoran.

Di Bali, Mas Darwis bukanlah karya aparaturnya melainkan karya masyarakatnya. Aparaturnya numpang selvie saja.

Ada suatu peristiwa, Pura Desa yang ramai dikunjungi turis lokal maupun asing. Boleh dikatakan lumayan hasil untuk meningkatkan Mas Darwis di wilayah itu. Tiba-tiba Pemda nya ingin mengambil alih dengan dalih ayat inilah ayat itulah dan seterusnya.

Ini model pembajakan terstruktur dan menjadi konflik. Ada lagi sebuah museum yang diwariskan oleh seniman yang bertaraf internasional. Pengelolaan para aparaturnya juga sekenanya, seadanya, semampunya. Tanpa ada lagi passion tentang art atau apresiasi di depan musium tertulis papan dengan ayat-ayatnya.

Pembangunan Mas Darwis bukanlah produk hapalan dan pendekatan kekuasaan namun pendekatan hati. Banyak local heros tentang Mas Darwis yang justru diapresiasi orang lain.

Aparaturnya tidak paham, atau paham namun pura-pura mbudeg. Logika sering koprol-koprol apalagi pemegang kekuasaan atau dipercaya sebagai pakar, apa yang dilakukan malah sebaliknya dari yang diharapkan.

Dana desa dapat membantu membangun Mas Darwis pada komunitas-komunitas tertentu. Bukan untuk materi atau perhitungan untung rugi melainkan untuk membangun karakter, penanaman kecintaan dan kebanggaan akan bangsanya, dari kampung untuk Indonesia.

Bergerak di tingkat lokal membawa dampak global. Kesadaran memberdayakan apa saja untuk menjadi ikon desanya sehingga akan terus menjadi sumber-sumber inspirasi yang terus hidup tumbuh dan berkembang.[CDL]

Share
Leave a comment