Empat Sehat Lima Tajin

TRANSINDONESIA.CO – Pada saat sekolah di SD Kedung Sari 2, tahun 70 an, cara hidup sehat mulai ditanamkan. Sekolah itu di tengah sawah jauh dari pemukiman dan di tepi sungai manggis.

Sekolah ala SD Inpres yang halamannya becek hampir seluruh siswanya nyeker alias tanpa alas kaki. Suatu ketika di kelas ada pertanyaan dari guru wali kelas, “Siapa yang di rumah sudah melaksanakan 4 sehat 5 sempurna?”,  Kesehatan yang sempuran pad point ke 5 ini adalah minum susu.

Dengan kondisi ekonomi orangtua murid, boleh dikatakan hampir-hampir tidak mungkin memberi anak-anaknya susu. Saat itu, saya dengan lantang menjawab, “Saya bu guru”.

Tajin

Tiba-tiba seluruh mata memandang saya. “Mana mungkin” kata mereka.

Saya tetap ngotot, “Saya 3x sehari minum susu”.

Suatu hari teman saya yang bernama Ino (Suwito Suwarsono) main ke rumah, dan ingin melihat susu apa yang saya minum. Tatkala ia melihat ibu saya mengambil air susu dari masakan nasi, langsung berteriak, “Kui tajin (itu tajin)”.

Saya tidak peduli kata Ino dan saya tetap meyakini sebagai susu.

Trans Global

9 Terdakwa Korupsi Simpang Ampek

TNI Sita 24 Senjata Api di Papua

Ceritera di atas ketika dikaitkan dengan reformasi birokrasi, kembali saya teringat bahwa yang terpenting dan mendasar adalah spiritnya, passionnya bukan dari hal lain. Mereformasi birokrasi dimulai dari pemimpinnya berani tidak untuk melakukan.

Kalau dalam analogi kisah susu yang sebenarnya tajin, keyakinan untuk mau dan mampu mereformasi merupakan modal dasar. Kemauan ini menjadi bagian dari kebijakan yang akan diambilnya.

Walaupun di luar maind stream. Tajin diyakini sebagai susu. Di dalam mereformasi birokrasi ini yang dapat dilihat adalah dari; 1. Kepemimpinan, 2. Kebijakan yang diambil, 3. Bidang adminstrasi, 4. Bidang operasionalnya, dan 5. Inovasi dan kreatifitas sebagai penguatan yang dengan gigih terus dilakukan.

Kisah minum tajin tersebut menggambarkan, bahwa untuk menjadi sempurna tidak harus dengan susu, dari tajinpun bisa.

Dalam konteks reformasi birokrasi yang paling mendasar adalah perubahan mind set. Merubah mind set. Perubahan mind set memerlukan kemauan, kemampuan dan keberanian. Perubahan mudah dikatakan implementasinya dapat dipastikan tidak mudah. Kaum mapan dan nyaman akan mempertahankan mati-matian.

Mereka ketakutan kehilangan previledgenya. Mereka bisa melawan bahkan berupaya mempertahankan status quonya dengan segala cara. Melawan langsung, bisa saja mengalami kegagalan. Seolah tidak mungkin dengan kondisi yang serba terbatas untuk mampu melakkukan perubahan diperlukan orang-orang yang bisa menjadi agen perubahan.

Mungkin, ibaratnya mereka sekelas tajin bukan susu namun keberadaanya akan mampu menjadi pionir-pionir yang saling menguatkan untuk memberdayakan potensi yang ada.

Kalau saja menunggu adanya kesempurnaan tentu tidak akan pernah terjadi. Kapan sehat tatkala menunggu susunya ada. Tidak ada susu tajin pun jadi. Kalau tidak dari sekarang kapan lagi. Kalau bukan dari kita siapa lagi.[CDL]

Share