Kota Baru “Tak Bertuan” Milik Siapa? [Selesai]
TRANSINDONESIA.CO – Developer of Happy Land ; Pembaca, dengan visi sedemikian, tak elok rasanya jika pembangunan kota baru mengabaikan serenceng ijin-ijin Pemerintah/Pemda. Menyingkirkan warga masyarakat lokal sekitar, jika tidak hendak mengajak masuk ke dalam “bahtera” kemakmuran bersama menjadi co-developer/co ownership.
Sejahtera bersama di atas bumi yang sama. Mengikuti Rudolf Mrazek yang menyebut istilah “Engineer of Happy Land”, pembangunan kota baru musti mengasup konsep “kebahagian” bersama. Dan, pengembang pun bermetamorfosa tak hanya mesin pencetak uang namun membangun reputasi menjadi “Developer of Happy Land”.
Itu soal jurus “kota milik bersama”. Pada ranah mikro, pembangunan kota baru yang di dalamnya ada pembangunan perumahan (landed housing) maupun bangunan vertikal berupa apartemen residensial dan perkantoran/perniagaan, tidak lepas dari ketentuan ikhwal perumahan dan kawasan permukiman, pun demikuan ketentuan rumah susun.
Jika merujuk UU PKP maupun UU Rusun, pembangunan kota baru musti mematuhi kewajiban hunian berimbang. Dalam Pasal 16 UU Rusun, ada kewajiban hunian berimbang, yakni menyediakan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) rumah susun umum dari luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Kiranya, hemat penulis konsep hunian berimbang itu relevan dengan maksud kebahagiaan bersama di bumi bersama, yang secara teknis hunian berimbang itu jurus mengatasi defisit perumahan (housing backlog) dan menyemaikan agregasi sosial.
Soal kepentingan publik lainnya? Merujuk Pasal 42 ayat (2) huruf a, b, c, d UU Rusun, pelaku pembangunan yang melakukan pemasaran rumah susun (apartemen) sebelum dilakukan pembangunan harus memiliki kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan rumah susun, perijinan pembangunan rumah susun.
Acapkali pemasaran diserta janji dalam brosur atau bentuk lainnya. Menurut Pasal 42 ayat (3) UU Rusun, dalam hal pemasaran sebeum pembangunan maka segala sesuau yang dijanjikan pelaku pembangunan dan/atau agen pemasaran mengikat sebagai perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) bagi para pihak.
Epilog
Pembaca, pembangunan kota baru bukan hanya persekutuan bangunan fisik properti, namun menyangkut kepentingan publik yang musti dijaga dengan kekuasaan publik.
Mendefenisikan kekuasaan publik hadir pada kota baru tidak hanya sekadar penyediaan fasilitas gedung namun hidup dan berjalannya fungsi-fungsi otoritas publik. Melindungi kepentingan dan hak publik yang tidak boleh abai dalam setiap jengkal wilayah teritorial negara Indonesia.
Kehadiran otoritas yang menjaga kepentingan publik itu tetap lestari, karena otoritas publik berkewajiban menjaga dan mendefenisikan lagi fungsi sosial tanah yang menjadi tempat terletak dan dibangunnya kota-kota baru. Pun demikian, memastikan bumi (tanah), air dan ruang udara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, walaupun hak atas tanah telah diberikan untuk membuat sebuah kota baru. Sehingga tak ada lagi kota yang tak bertuan, dalam arti nihil dan absennya fungsi-fungsi pemerintah melakoni kepentingan publik. Walau kota baru itu menjadi “milik” swasta.
Esai ini adalah misi sederhana pemberdayaan warga. Sebut saja untuk meluas-kenalkan literasi properti. Untuk watawashau bil haq.
[Muhammad Joni,SH,MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]