Dari Masjid Azizi Tanjungpura [4]: Kota dan Hukum yang (Tak) Rabun Jauh Sejarah

TRANSINDONESIA.COUsah ‘Rabun Jauh’ Sejarah

Adakah pengaruhnya kepada kepatuhan hukum yang berlaku pada Kesulthanan Melayu Langkat? Merujuk buku Sejarah Melayu, sampai abad ke-19 Kesultanan  Langkat berada dalam pengaruh Aceh (Ahmad Dahlan, 2014),  dan  begitu  meluasnya  pengaruh kitab syariat yang berisi ajaran ketanagaraan seperti Bustan as Salatin  dan Taj as Salatin,   hal ini menjadi “lahan”  mengubak  sejarah  Melayu Langkat dan  kitab-kitab hukum  apakah yang berlaku dan diikuti?

Dimanakah ditemukan kitab klasik yang otoritatif dan otentik yang bisa menjelaskan alam pikiran melayu Langkat saat itu? Apakah ada semacam qawaid yang diberlakukan Kesulthanan Siak? Konstitusi tertulis Kesultanan Siak Sri Indrapura bernama al-Qawaid atau Babul Qawaid. Babul Qawaid  berarti pintu segala pegangan, yang  merupakan kitab undang-undang setebal 90 halaman yang menguraikan tentang hukum yang dikenakan pada orang Melayu, maupun bangsa lain yang berhubungan dengan orang Melayu.

Ini soal yang menarik ditelaah dengan menemukan sumber rujukan. Semakin berwarna  dengan  berbagai persintuhan hukum yang belakangan juga diakui.

Masjid Azizi Tanjungpura

Mari melompat ke masa  lebih muda,  tatkala  pernah  pada masanya T. Amir Hamzah diangkat menjadi Kepala Mahkamah Kesulthanan Langkat yang situs gedung mahkamah masih tegak berdiri di Tanjungpura, walau kini kurang terawat Pemerintah Daerah Langkat.  Alih-alih membangun masjid, maktab, dan rumah sakit seperti yang dilakoni kesulthanan Langkat tempo dulu yang membangun  kota (publik),  maka ikhwal ketabahan merawat situs dan kota  bersejarah itu janganlah kiranya diabaikan Pemda.

Sejarah terus berlangsung, seperti  air mengalir, pantha rei. Zaman  bergerak demikian pula hukumnya.  Corak konstruksi hukum dan pergeseran tata hukum  yang tersajikan  semakin beragam,  jika membaca  Djohar Arifin Husein, yang pada tahun 2011 menulis “Tengku Amir Hamzah – Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat”, yang menorehkan kesan bagaimana Amir Hamzah peduli rakyat kecil. Membela rakyatnya yang terjerat masalah hukum. Di paparkan dalam buku Djohar Arifin itu, “Sebagai Kepala Mahkamah Kerajaan banyak rakyat kecil yang dibelanya, jika bukan kejahatan pembunuhan, pencurian atau perampokan terdakwa tidak akan melaksanakan hukuman badan atau masuk penjara, cukup dengan didenda dan lucunya dendanya secara diam-diam dibayarnya dari kantongnya sendiri, terkadang pinjam dari bendahari pengadilan”.

Mutu ijtihat T.Amir Hamzah itu begitu maju melampaui zaman, yang kini disukai dan diambil alih menjadi konsep restorative justice dan non penal punishment yang belakangan diperkenalkan hukum barat.

Tatkala Belanda memberlakukan peraturan membayar rodi (pajak paksa) kepada rakyat sebesar 6 (enam) perak atau setara satu goni besar dalam setahun, Amir Hamzah diam-diam melunasi pajak paksa rakyat Langkat Hulu. Seluruhnya. Dibayar dari gajinya. Tak ada rakyat Langkat Hulu yang dilaporkan abai membayar pajak paksa itu. “Rakyatnya tak tahu pajak rodinya dilunaskan selama ini (oleh) Tengku Amir”, tulis Djohar Arifin lagi.

Memang perjalanan sejarah yang bertutur runtut menjelaskan perkembangan historis yang begitu kompleks. Namun, dengan memahami setting syariah dan kepatuhan hukum yang diikuti, berikut situs-situs utama yang masih bisa ditemukan, seperti Masjid Azizi dan maktab “puteh”, secara faktual tak bisa menafikan adanya pengaruh dan kepatuhan hukum berdasarkan syariat.

Penelusuran kitab-kitab lama dan dokumen hukum yang berkembang pada era kejayaan kesulthanan Langkat, sangat menarik dicermati isi kaidahnya, dari mana ikhwal pengaruh alam pikiran dan teks syariatnya, bagaimana kelembagaan peradilan bekerja dan isi pertimbangan hukumnya, bentuk dan tampilan dokumennya, menjadi kajian sejarah hukum yang memiliki arti yang penting dalam memahami setting pemberlakuan syariat dalam hukum nasional kini. Ini soal yang musti dirancang lebih khusus dan serius sampai menemukan kitab dan pustaka lama sampai ke sumber asli penyimpanannya.

Seperti pernah dilakukan Soetandyo Wignjosoebroeto yang dikirim 4 bulan ke Belanda menelusuri pustaka-pustaka lama zaman kolonial pada Agustus-Nopember 1988 yang kemudian menuliskannya menjadi buku “Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional – Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”.

Penelusururan sejarah hukum mustinya  tidak “rabun jauh” sejarah, karena hanya mematok dimulai  dengan masuknya kolonial yang membawa hukumnya  dan  bertransformasi kepada hukum nasional. Mustinya meneluri sejarah hukum lebih jauh lebih asli sebelum masuknya kolonial, karena sudah ada dan dipatuhinya syariat Islam pada kesulthanan (melayu) nusantara yang  diakui dan berdaulat sebagai negara. Yang dikenal sebagai Melayu identik Islam.  Hukum nasional tidak bermula dari hukum kolonial, tapi jauh lebih mendalam diakui dan diikutinya syariat Islam.  Zaim Saidi menyebut kesulthanan selalu identik dengan syariat Islam ketika  menulis pengantar editor penerbitan ulang buku Shaykh Dr.Abdulqadir as-Sufi, “Sultaniyya”, 2014.

Banyak informasi menerangkan pendatang Eropah awalnya justru mengikuti hukum yang diterapkan sulthan/raja dalam perdagangan dengan penguasa atau warga, sehingga bisa dibangun  postulat pendatang Eropah seperti Belanda justru menyerap hukum setempat,  transaksi menggunakan mata uang setempat, kiranya seperti tiori hukum resepsio in complexu yang kemudian diterapkannya kepada bumi putera.

Lagi, seperti  pengakuan Raffles, bahwa sulthan Singapura memerintah dengan terus terang mengacu kepada  kitab Taj as Salatin.  Idemditto, kraton Yogyakarta dan Surakarta mengadaptasi Taj as Salatin dalam versi Jawa sebagai Serat Tajus Salatin.

Hukum syariat Islam dipandang sebagai hukum yang hidup dan berlaku (the living law).  Teori ini didasarkan pada keyakinan Van den Berg bahwa “Islam telah diterima secara baik oleh sebagian besar, jika tidak semua, umat Islam setempat.” Teori Van den Berg ini kemudian diresmikan melalui Aturan Pemerintah Kolonial Belanda Nomor 152 tahun 1882.

Van den Berg bukanlah orang pertama yang berpendapat bahwa hukum Islam adalah hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia.  Telaah-lah  Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie (R.R.), Stbl. Nomor 129 tahun 1854 dan Nomor 2 tahun 1855, terutama pasal-pasal 75, 78, dan 109, (2).  Pada masa Daendels dan Raffles, hukum yang berlaku bagi umat Islam  adalah hukum Islam. Van den Berg adalah orang pertama yang merumuskannya dalam bentuk teori yang kemudian dikenal secara luas.

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute,  Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment