Dari Masjid Azizi Tanjungpura [Selesai]: Kota dan Hukum yang (Tak) Rabun Jauh Sejarah

Masjid Azizi Tanjungpura

TRANSINDONESIA.CO– Kembali ke situs masjid.  Kota Tanjungpura dengan situs Masjid Azizi dan maktab “puteh” tidak terbantah sebagai bukti historis-sosiologis yang  valid dan absah untuk menerima dengan jujur fakta syariat  Islam sebagai hukum yang hidup (living laws) di negeri Langkat.  Yang diakui, diikuti dan dipatuhi dengan sebab kepatuhan bukan hanya keberlakuan.  Namun, penting pula menemukan dokumen dan  rujukan  kitab hukum apakah yang diterapkan Mahkamah Negeri Langkat, adakah jejak-jejak berkas, dokumentasi,  berita acara peradilan ketika mahkamah menjalankan fungsi kenegaraanya?

Mengungkap itu, besar sumbangannya bagi ilmu hukum dan sejarah hukum jika memperoleh sumber rujukan, dan selanjutnya membuat telaah hukum doktrinal atas norma/kaidah yang berlaku, dengan mencermati konten normatif, struktur kelembagaan hukumnya, dan suasana kepatuhan serta budaya hukum yang berkembang saat itu. Menjadi alibi bagi menata hukum yang berkeadilan masa kini.

Epilog: Kota dan Hukum

Pun demikian, situs bangunan bukan tak berguna sebagai sumber rujukan hukum yang berlaku.  Membaca perkembangan kota bukan hanya dari fisiknya namun juga dokumen hukum yang berlaku, apa kaidah risalah yang dibuat. Kota dan  hukum berkembang hampir paralel, walau ada pasang surut dan pergulatan dinamikanya.

Kiranya postulat pertemalian situs bangunan kota dengan  hukum dapat dimulakan, untuk menelusuri sejarah dan kaidah hukum yang tak rabun jauh. Pertama: situs bangun bersejarah adalah bukti penerimaan dan kepatuhan hukum yang berfungsi “mencatatkan” pemikiran dan norma hukum yang dianut.  Kedua: situs bangunan bersejarah tak hanya benda fisik semata, namun ada anasir filosofi, jiwa, pikiran, norma, dan kepatuhan hukum yang inheren melekat padanya.  Ketiga: membaca hukum tak hanya lewat kitab, naskah atau qawaid saja tapi situs bangunan dan kota bisa diajak “berbicara” sebagai narasumbernya.

Tersebab itu, tak keliru esai ini memahami postulat dari situs Masjid Azizi Tanjungpura yang menjelaskan sentalnya  mesjid dalam riwayat tata kota dan tata hukum yang berlaku.  Melalui kemolekan situs bangunan masjid, menjadi cara yang lebih mudah dan kasat mata  untuk mengambil pintu masuk menjelaskan betapa syariat Islam memiliki akar yang kuat dan dipatuhi warga negeri.

Selain pada bahasa ada hukum yang paling tua,  pada karya cipta benda bersejarah  inheren terkandung hukum yang tak kalah tua. Seperti halnya kini  fashion, benda properti, dan kegiatan lawatan yang lebih mudah menjadi pintu masuk transmisi gagasan dan menjelaskan budaya pikiran, maka deskripsi mendalam dan otentik terhadap situs (properti) bersejarah seperti  Masjid Azizi, menjadi medium transmisi pemahaman betapa syariat Islam menjadi “alam pikiran” yang eksis dan dipatuhi negeri Melayu berdaulat.

Yang  sekaligus juga menjelaskan betapa budaya bendawi sekalipun inheren  gagasan dan budaya pemikiran keagamaan yang sudah mengakar lama, dengan rujukan otoritatif dan otentik, yang memiliki daya berlaku dan mengusahkan kepatuhan warganya. Patuh terhadap hukum, kaidah, qawaid, yang  dikenali sebagai syariat Islam. Wawlahualam.

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute,  Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share