Setelah KKI Gagal Bubar, Apa Agenda?

TRANSINDONESIA.CO – Pernah mendengar Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menunggu waktu  dibubarkan? Hendak digantikan lembaga lain yang dibentuk baru? Dengan  menggabungan semua jenis tenaga kesehatan dalam satu wadah baru bernama Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Padahal, KKI dibentuk dengan  UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Prakdok), dan sudah eksis berkiprah dan diakui internasional.

Mulanya ada yang tak lazim  dengan  UU No. 36 Tahun  2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Nakes).  Sebab membuat pasal  yang mencabut daya berlaku UU lain, tepatnya UU Prakdok.  Sebelum dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK), eksplisit ketentuan Pasal  34 ayat (3), Pasal 90 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 94 UU Nakes. Yang  dimaksudkan  membubarkan KKI.

Caranya?  Ada 2 (dua) jurus. Pertama, UU Nakes menggabungkan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) ke dalam tenaga kesehatan (vide  Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 11 ayat (2) UU Nakes).  Kedua,  dengan UU Nakes pula membentuk KTKI yang dirancang menggantikan KKI.

Muhammad Joni.[IST]
Pembaca yang bersemangat. Ketahuilah  UU Nakes dibuat atas mandat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), namun UU Kesehatan tidak memandatkan pengaturan tenaga medis (dokter dan dokter gigi) dan tidak pula memandatkan pembubaran KKI.  Pasal 21 ayat (3) UU Kesehatan  berbunyi  “Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang”. Tengoklah Penjelasannya berbunyi “Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis”. Artinya? UU Nakes telah melebihi mandat (over mandatory) dan merusak sistem hukum kesehatan dan hukum praktik kedokteran.

Pasal-pasal  ikhwal pencabutan daya berlaku KKI dengan UU Nakes itu lantas diajukan uji materil oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Over mandatory dan merusak sistem praktik kedokteran, sebagai  dalil pokok  yang diajukan ke MK dengan batu uji antara lain  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Syukurnya, MK membuat putusan yang adil dan bijak konstitusional. Dengan putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015 yang dalam amarnya  membatalkan pasal-pasal UU Nakes yang menggabungkan tenaga medis ke dalam tenaga kesehatan, dan  membatalkan pasal-pasal yang mencabut legalitas KKI.  Artinya, KKI gagal dibubarkan. Tersebab itu,  KKI bertahan sebagai lembaga independen yang mengawal profesi kedokteran dan kompetensi dokter/dokter gigi di Indonesia.

Mengapa KKI dibutuhkan dan bisa bertahan?  KKI yang dikenal  dengan lembaga negara penunjang (state auxiliary body) dibentuk berdasarkan UU Prakdok,  idemditto seperti lembaga negara lain yang dibentuk dengan Undang-undang.  Pada kenyataannya telah efektif  menjalankan tugas, wewenang dan fungsinya sesuai UU Prakdok. Sebab itu aneh jika KKI dieliminir UU Nakes.

Mengapa KKI efektif? Dalam hal penerbitan Sertifikat Tanda Registrasi (STR) bagi dokter/dokter gigi, KKI telah menjalankan tugas sebagai pihak yang berwenang menerbitkan STR bagi tenaga medis.  STR adalah pengakuan Negara dan jaminan atas mutu dan standar kompetensi dokter/dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dengan registasi berbasis kompetensi (competency base), bukan berbasis administrasi (administration base). Serta perlindungan dan kepastian hukum bagi dokter dan dokter gigi.

Dulu, sebelum UU Prakdok  penerbitan Surat Izin Dokter  (SID) yang  berbasis administrasi yang diterbitkan  eksekutif dan berlaku seumur hidup. Bukan dengan STR yang berbasis kompetensi yang diterbitkan KKI  yang berlaku periode 5 tahun.

KKI hadir untuk menjamin standar mutu dan kompetensi dengan wewenang pengesahan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Pengesahan SKDI oleh KKI untuk menjamin mutu pendidikan kedokteran dan standar profesi dokter sehingga menjamin praktik kedokteran sesuai kompetensi.

KKI telah menerbitkan SKDI Tahun 2006 dengan  Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21A/KKI/KEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Kompetensi Dokter, dan direvisi dengan SKDI Tahun 2012 dan menerbitkan Standar Pendidikan Dokter.  KKI mengupayakan terjaminnya  praktik kedokteran yang baik, dengan  menerbitkan buku “Penyelenggaraan Praktik  Kedokteran Yang Baik”   yang berguna untuk peningkatan mutu asuhan medis guna  menjaga profesional trust dan perlindungan warga masyarakat dari praktik kedokteran.

KKI telah menjamin perlindungan warga masyarakat dengan memiliki dan menjalankan fungsi MKDKI sebagai peradilan disiplin yang permanen dengan sifat putusan MKDKI bersifat final.  MKDKI adalah organ peradilan disiplin untuk melindungi warga masyarakat, sehingga tanpa MKDKI maka tidak ada perlindungan masyarakat atas praktik kedokteran yang melanggar norma disiplin kedokteran.

MKDKI sudah memiliki sistem yang pasti dalam penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, termasuk dengan adanya Organisasi dan Tata Kerja MKDKI,  memiliki hukum acara berupa Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh MKDKI dan MKDKI di Tingkat Propinsi, dan   memiliki Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran sesuai Keputusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006. KKI sendiri tidak bisa mengintervensi MKDKI  yang merupakan peradilan disiplin  untuk menjaga  kepentingan dan hak warga masyarakat.

Sebagai profesi penolong (helping profesion),  dokter dan dokter gigi terikat dengan norma disiplin, norma etik, selain  norma hukum yang berlaku bagi setiap orang  [vide Pendapat Mahkamah  dalam Putusan MK No. 14/PUU-XII/2014].   Untuk  kepastian   mematuhi norma disiplin dilakukan dengan membentuk peradilan disiplin bernama  MKDKI yang independen dan putusannya bersifat final. Tanpa intervensi pihak eksekutif.

Karena itu tidak logis jika pemerintah cq. Menteri Kesehatan  memeriksa keberatan atas putusan peradilan disiplin seperti dikehendaki UU Nakes. Sebab,  eksekutif tidak memiliki  kapasitas dan wewenang menguji kepatuhan penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi maupun  disiplin tenaga kesehatan lain. Itu dalil yang muncul saat  patik  menjadi kuasa hukum KKI, IDI, PDGI.

Setelah KKI gagal  bubar,  maka tantangan bagi KKI menunjukkan independensi dan kapasitasnya dalam mengawal profesional trust tenaga medis dan perlindungan pasien, yang setarikan nafas bermakna menjaga mutu layanan pasien sesuai kompetensi dan profesi medis. Juga mengukuhkan posisi KKI yang secara internasional khususnya kawasan ASEAN diakui telah sebagai Professional Medical and Dental Regulatory Authority  di Indonesia.

Sejak tahun 2011 KKI menjadi anggota IAMRA  (International Association for Medical Regulatory Authorities), sebagai lembaga regulator medis internasional. KKI juga  mendapat kepercayaan menyusun acuan Medical Care Competency.

Tantangan lain?  Mempertahankan sistem praktik kedokteran yang memperkuat  eksistensi KKI dan kiprah Organisasi Profesi (OP) yakni  IDI dan PDGI dalam mengawal praktik kedokteran.  Keberadan KKI (termasuk MKDKI), dengan  tugas dan peran OP, berikut perguruan tinggi kedokteran, dan pemerintah/pemerintah daerah  sesuai UU Prakdok adalah postur kelembagaan ideal yang tidak semestinya bergeliat saling meniadakan.

Jangan pula  hendak mendelegitimasi KKI dan OP yang  mengawal kompetensi profesi medis dalam praktik kedokteran, sebab itu  akan vis a vis   UU Prakdok yang menjamin perlindungan pasien dan menjaga mutu layanan (protecting the peoples and guiding profesion). Bahkan hal itu tidak bijak secara konstitusional.

Lebih dari itu, memperkuat  KKI adalah memperkuat  kehadiran negara dalam pemenuhan hak konstitusional atas pelayanan kesehatan. Mengapa? Sebab, Negara bertindak lewat lembaganya. “State acts only through its organs”(Hans Kelsen). Melemahkan lembaga negara, idemditto melemahkan negara.

Muhamad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI); Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share
Leave a comment