Ahok: Pengadilan, Demo dan Banjir Jakarta
TRANSINDONESIA.CO – Pagi hari ini, hujan tarus turun, seperti pagi hari pada hari sebelumnya, dan sebelumnya lagi. Rencana saya hendak keluar rumah untuk suatu urusan terpaksa saya batalkan, karena perasaan saya Jakarta akan banjir.
Ternyata benar, di televisi kita melihat berita dimana-mana banjir. Ada 54 titik Banjir di Jakarta, belum lagi di Tanggerang dan Bekasi. Disela-sela berita banjir, disiarkan berita demo 212 jilid 2, oleh Ormas Islam yang jumlahnya ribuan, ke Senayan Gedung DPR menuntut Ahok di non-aktifkan karena sudah melanggar UU 23/2014, pasal 83 ayat 1,2,dan3. disela-sela berita tersebut juga diliput berita Ahok disidangkan oleh Pengadilan Jakarta Utara, sidang ke 11, karena Ahok didakwa melakukan penistaan agama Islam dengan “mempermainkan” surat Al-Maidah ayat 51.
Hari ini berarti, tiga issu besar diperankan oleh satu orang yang bernama Ahok, yang saat ini baru beberapa hari menjabat kembali sebagai Gubernur DKI setelah beberapa bulan non aktif karena mencalonkan diri dalam Pilkada DKI. Hasilnya Ahok mendapat 43% suara dan harus main lagi diputaran kedua karena tidak mencapai 51% suara.
Banjir, Demo dan Pengadilan
Jakarta banjir, sebenarnya bukan suatu yang luar biasa, apalagi dimusin hujan dengan curah yang tinggi. Jakarta jadi “LUAR BIASA” kalau tidak banjir dalam situasi musim hujan sperti sekarang ini. Sama dengan “LUAR BIASANYA” jika Jakarta tidak macet setiap hari kecuali lebaran. Karena sejarah banjirnya Jakarta merupakan cerita panjang, dan bersambung. Persoalannya sangat kompleks, mulai dari kali yang semakin menyempit, waduk yang mengecil, berkurang tanah resapan, dan bentuk tanah Jakarta yang landai dan datar, dan menjadi penampungan lewatnya air dari Puncak – Bogor sebelum sampai kelaut.
Karena itu persoalan banjir tidak akan dapat diselesaikan oleh Gubernur walaupun sampai dua periode, karena akan membutuhkan waktu yang mungkin lebih dari 25 tahun menurut para ahli (planologi).
Oleh karena itu menjadi blunder, kalau persoalan penanganan banjir, menjadi isu kampanye keberhasilan paslon petahana, sebab persoalan alam ini tidak bisa dikendalikan oleh seorang Gubernur, karena sifatnya global, dan menyangkut ekosistem yang diluar jangkauan manusia itu sendiri, walaupun itu akibat dari perbuatan manusia sehingga ekosistem terganggu.
Akibatnya di media Medsos, persoalan banjir menjadi viral terkait dengan ucapan Ahok yang menjamin Jakarta sudah tidak banjir, kalaupun banjir, satu hari akan surut.
Optimismenya perlu kita hargai, tetapi tidak perlu sesumbar, dan dengan kekuasaan Allah SWT, menurunkan hujan 3 hari terus menrus, tentunya bentuk peringatan Allah SWT, untuk tidak takabur.
Kepada kita juga dipertontonkan melalui berbagai media, bagaimana hari ini saat masyarakat mendapat musibah banjir, Ahok tidak dapat berada ditengah warganya yang kebanjiran, karena seharian harus berada di Pengadilan, diadili sebagai terdakwa perkara penistaan agama Islam yang disampaikannya di pulau Seribu.
Inilah buah dari ucapannya itu, dan resiko ini mungkin tidak pernah dibayangkan olehnya. Rupanya Ahok mungkin “mulai” menyadari kesalahannya (semoga), kita dengar berita di radio, selesai sidang malam ini meminta maaf kepada warganya yang mengalami musibah akibat banjir ini.
Memang kedepan, disarankan siapapun calon Gubernur, ngak usah berkampanye dapat menyelesaikan persoalan banjir dan jalan macet secara menyeluruh dengan instans, kalau memang mampunya sampai sedepa jangan bilang sehasta. Itu sangat menyakitkan bagi warga Jakarta.
Masih terkait Ahok, hari ini dalam suasana hujan, ribuan orang demo ke DPR, para ormas Islam dan Forum umat Islam, meminta agar DPR mendesak Presiden Jokowi menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur karena sudah terdakwa dalam perkara penistaan agama Islam. Di Metro TV malam ini, dialog Mendagri Tjahyo Kumolo dengan mantan Ketua MK Mahfud MD, cukup menarik.
Mendagri siap pasang badan, jangan disalahkan Presiden, sambil menunggu tuntutan JPU terkait angka lima tahun, Ahok tetap aktif. Suasana tampaknya akan semakin rumit, apalagi kalau jadi mengelinding hak Angkat DPR Kondisi ini merupakan “potret kurang bagus” bagi kehidupan penyelenggaraan pemerintah, khususnya bagi pejabat publik yang seharusnya menjadi Model dan panutan masyarakat.
Jika karena persoalan ini , Mendagri siap menjadi korban dan mundur dari jabatannya, rasa-rasanya kebangetan sekali. Jika Ahok punya hati, dan sebagai pejabat publik yang negarawan, secara –gentle- berinisiatif untuk membuat suasana -colling down-, menghadap Presiden untuk mengajukan surat pengajuan non-aktif sebagai Gubernur karena sedang berkonsentrasi menghadapi persidangannya.
Tapi apa itu mungkin, saya juga tidak yakin. Boro- boro buat surat non-aktif, sewaktu adanya perintah UU Pilkada harus cuti karena ikut Calon Gubernur, di -Judicial Review- oleh Ahok ke MK menolak UU tersebut, walapun akhirnya tidak menang.
Memang banyak yang berpendapat, bahwa kekuasaan itu ibarat candu, ada sifat ketagihannya, oleh karena itulah ada pembatasan kekuasaan yang diatur oleh UU, walaupun juga diberikan wewenang diskresi yang kalau tidak menggunakannya dengan tepat dan benarkan dapat menjadi abuse of power. Cibubur, 21 Februari 2017
[Chazali H. Situmorang/Dosen FISIP UNAS-Pemerhati Kebijakan Publik]