Setro Gondo Mayit Tegal Kurusetra

TRANSINDONESIA.CO – Tegal kurusetra menjadi tempat yang paling mengerikan, setro gondo mayit. Aroma kematian di medan laga Bharata Yuda. Perang Saudara antara Pandawa dan Kurawa, seolah telah menjadi takdir dewata satu keluarga keturunan Bharata untuk berperang saling membunuh, saling menyerang, dan menghancurkan.

Ketidak mampuan berdialog, berdiplomasi untuk penyelesaianya menjadi sumbu bagi ego dan hawa napsu serta keserakahan yang siap meledak. Saling merasa benar, saling merasa memiliki hak membutakan mata hati dan logikanya. Harga diri menjadi taruhan untuk diperebutkan.‎

Merasa paling benar, paling berhak bahkan paling suci sekalipun menjadi landasan bagi kebencian untuk dilabelkan. Taburan isu-isu bertebaran menjadi provokasi.

Bharata Yuda
Bharata Yuda

Ujaran-ujaran kebencian, bagai terompet dan genderang perang ditabuh untuk memberi tanda bahwa perang menjadi pilihan, tiada lagi jalan untuk perdamaian.

Sri Kresna sang duta titisan Dewa Wisnu dari Dwaraka, berbagai cara berupaya meredam, menjembatani untuk mencari solusi. Namun kebencian, amarah, balas dendam lebih menguasai yang mampu melenyapkan akal sehat dan kemanusiaannya.

Bumbu-bumbu Sengkuni semakin memperkeruh, suasana menjadi semakin panas, haus akan darah, dan aura kematian, kehancuran semakin terasa dimana-mana.

Kaum ksatria siap berlaga, menumpahkan darah, mengorbankan jiwa raganya demi membela yang diyakininya.

Apa keuntungan tatkala Bharatayuda usai ? Bagi para pengamat, pemikir, filsuf, sufi, para ahli, dapat mengatakan kita semakin bijaksana, dapat belajar yang baik dan benar, kebenaran dan nilai-nilai suci pengorbanan para kusuma bangsa yang gugur di medan Bharatayuda.

Bagi Pandawa maupun kurawa sbenarnya sama-sama kehilangan orang tua, guru, keluarga, saudara, sahabat, prajurit-prajurit setia, orang-orang terbaiknya yang mati di kurusetra. Apapun keuntunganya tetap menyisakan duka lara, kesengsaraan, kesedihan yang tak tergantikan. ‎

Akankah konflik-konflik, kepentingan, ego, keserakahan, saling merasa benar, saling membenci, saling menyalah dalam kehidupan di era digital ini menjadi tanda datangnya setro gondo mayit (aroma kematian) menjadi jalan berulangnya Bharatayuda?

Akankah logika, kesadaran, dibutakan oleh kepentingan, ego, nafsu-nafsu untuk semakin dominan dan mendominasi? Apakah ini tanda kutukan tiba, untuk mengiklaskan tanah air menjadi tegal kurusetra?

Jawabannya memang akan beragam, tidak bisa dipaksakan, tidak juga dapat dijelaskan seketika, bahkan mungkin juga tidak bisa dielakkan tatkala logika dan hati sebagai manusia telah sirna.

Terlebih lagi apabila memang sudah menjadi takdirnya menerima setro gondo mayit yang menjadi tanda bagi negeri Reinkarnasi Bharatayuda dalam versi yang berbeda.

Tatkala semua cara merdam gagal, tinggalah menunggu kapan diledakkanya. Kiri, kanan, merah, hijau semua berpeluang meluluh lantakkan kebahagiaan, kedamaian, ketentraman, keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan yang selama ini kita rasakan.[CDL16012017]

Share