TRANSINDONESIA.CO – Sebagai buatan manusia dan “essensial part of politics” yang dibuat oleh otoritas hukum, logis jika praktisi yang terlatih mudah mengendus inkonsistensi dan kelemahan produk hukum bahkan aroma senyap penyamaran normatif sekalipun.
Mari menguliti UU Ormas ataupun PP Ormas dengan telaah kritis hukum. Melengkapi argumentasi historis dan argumentasi konstitusional, esai ini mengurai alasan ketiga berkenaan argumentasi juridis.
Kua normatif Pasal 9 UU Ormas yang berbunyi “Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesa atau lebih, kecuali Ormas yang berbaan hukum yayasan”. Jelas, bahwa Ormas hanya didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI). Hemat penulis, Pasal 9 UU Ormas itu adalah hukum primer (primary rule). Tidak ada frasa yang mengecualikan norma primer UU Ormas itu, bahwa Ormas didirikan WNI.
Walau memuat banyak frasa dan norma Ormas asing ataupun Ormas yang didirikan warga negara asing (WNA), namun UU Ormas maupun PP Ormas tidak mempunyai defenisi Ormas asing. Kua teknis, jika frasa dipakai berkali-kali sepatutnya defenisi Ormas asing dirumuskan dalam ketentuan umum. Namun UU Ormas dan PP Ormas hanya mengatur apa bentuk badan hukum Ormas yang didirikan WNA, yakni berbentuk yayasan atau sebutan lain yang sejenis.
Ada 3 (tiga) tipe Ormas asing: (1) badan hukum yayasan asing atau sebutan lain; (2) badan hukum yayasan yang didirikan oleh WNA, atau WNA bersama WNI; (3) badan hukum yayasan yang didirikan badan hukum asing [vide Pasal 34 ayat (2) PP Ormas].
Ajaibnya, PP Ormas hanya mengatur Ormas badan hukum yayasan asing (tipe pertama) yang wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional [vide Pasal 35 ayat (1) PP Ormas]. Namun tidak untuk Ormas asing tipe kedua dan tipe ketiga versi Pasal 34 ayat (2) PP Ormas.
Patut dipertanyakan, mengapa hanya Ormas asing tipe pertama saja yang wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional? Sedang Ormas asing tipe kedua dan ketiga disahkan setelah mendapatkan pertimbangan tim perizinan [vide Pasal 36 PP Ormas]. Anehnya, soal perizinan, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing mesti menunggu dibuatnya PP tersendiri.
Kua juridis, Ormas adalah organisasi masyarakat yang berhimpunnya orang (persoon) atau insan manusia (human being). Bukan organisasi atau badan hukum (rechts persoon). Ajaib, jika membolehkan Ormas yang bukan perhimpunan orang, namun dibentuk badan hukum, seperti halnya badan hukum yayasan yang didirikan badan hukum asing [vide Pasal 34 ayat (2) huruf c PP Ormas].
Ketentuan itu bertentangan dengan norma primer dalam Pasal 9 UU Ormas bahwa Ormas didirikan oleh orang (persoon), maksudnya bukan badan hukum. Malah ditegaskan orang yang dimaksudkan adalah WNI.
Soal juridis lain, selain defenisi Ormas asing tidak jelas dalam UU Ormas dan PP Ormas itu, bisa mengakibatkan gagalnya fokus pengawasan Ormas asing untuk tipe pertama, maupun tipe kedua dan ketiga. Kalaupun PP Ormas membuat cantelan aturan bahwa Ormas asing terikat prosedur perizinan, tim perizinan, dan pengesahan Ormas yang didirikan WNA, namun PP Ormas hanya menyebutkan Ormas dengan badan hukum yayasan tipe kedua dan ketiga disahkan Kementerian Hukum dan HAM apabila setelah mendapatkan pertimbangan tim perizinan [vide Pasal 36 PP Ormas].
Akan tetapi, ketentuan itu belum efektif karena pengaturan ikhwal peizinan, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing itu dengan PP tersendiri belum ada. Sehingga pemberian izin prinsip, izin operasional, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing belum bisa dilaksanakan. Artinya, semestinya belum boleh ada Ormas asing versi Pasal 34 ayat (2) PP Ormas. Kepada Menteri Hukum dan HAM perlu diminta klarifikasi, apakah sudah ada Ormas asing yang disahkan?
Di tengah maraknya lalu lintas tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, perluasan rezim bebas visa, dan dibukanya keran investasi asing, maka sangat mudah bagi hanya segelintir orang WNA, maupun seakan jenuin bersama dengan WNI mendirikan badan hukum yayasan yang dikualifikasi sebagai Ormas asing.
Pembaca budiman yang bersemangat kebangsaan. Jikalah memang tak ada urgensinya Ormas asing itu, untuk apa terlalu mudah membiarkan Ormas asing diberikan izin prinsip dan izin operasional, tanpa ada pengawasan secara khusus dan pembatasan lingkup Ormas asing dibandingkan Ormas domestik. Secara dini dan antisipatif, patut dikuatirkan permasalahan sosial politik yang bisa membenihkan ancaman bagi kedaulatan negara.
Apalagi dalam hal ikhwal pengawasan, sanksi dan larangan bahkan prosedur pembubaran Ormas, ketentuan UU Ormas dan PP Ormas menyamaratakan atau tidak membedakan antara Ormas domestik dengan Ormas asing. Padahal logis dan rasional jika kepada Ormas asing diterapkan pengawasan dan pengendalian yang teliti dan khusus.
Sekali Ormas asing sudah didirikan dan disahkan pemerintah, sulit untuk membubarkannya. Sebab, mesti melewati proses hukum yang panjang yakni diajukan ke pangadilan oleh kejaksaan hanya atas permintaan Menteri Hukum dan HAM, itupun dengan syarat lebih dulu dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah [vide Pasal 70 UU Ormas]. Karena itu, cermat dan waspadalah sebelum mengesahkan Ormas asing.
Meredupkan kekuatiran itu, patut ditempuh uji materil atas UU Ormas dan PP Ormas itu. Selain mempersoalkannya kepada pembuat aturan. Itu sangat logis dan faktual dalam praktik, apalagi hukum itu adalah essensial part of politics. Jika Roberto Unger menyebutkan pembuatan hukum sebagai mengintegrasikan paradigma konflik (kepentingan) dan konsensus, tentu pembaca bisa mafhum bagaimana logika Unger mengubah aturan hukum?
[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]