Kritik Hukum Ormas Asing [2]

TRANSINDONESIA.CO – Sebagai buatan manusia dan “essensial part of politics” yang dibuat oleh otoritas hukum, logis jika  praktisi yang terlatih mudah  mengendus inkonsistensi dan kelemahan produk hukum bahkan aroma senyap penyamaran normatif sekalipun.

Mari menguliti  UU Ormas ataupun PP Ormas dengan telaah kritis hukum. Melengkapi argumentasi historis dan argumentasi konstitusional, esai ini mengurai  alasan  ketiga berkenaan argumentasi juridis.

Kua normatif Pasal 9 UU Ormas yang berbunyi “Ormas didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesa atau lebih, kecuali Ormas yang berbaan hukum yayasan”. Jelas, bahwa  Ormas hanya didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI). Hemat penulis, Pasal 9 UU Ormas itu adalah hukum primer (primary rule). Tidak ada frasa yang mengecualikan norma primer UU Ormas itu, bahwa Ormas didirikan WNI.

Penulis, Muhammad Joni.[DOK]
Penulis, Muhammad Joni.[DOK]
Idemditto PP Ormas tidak mengatur apa alasan spesifik dan urgensinya Ormas asing, sebab PP Ormas tidak menyiapkan norma dan  konsideran spesifik mengapa adanya Ormas asing yang secara institusional mandiri dan kegiatan sendiri? Di tengah kebutuhan membina dan memberdayakan Ormas domestik yang memiliki akar kuat dalam argumentasi historis dan landasan konstitusional.

Walau memuat  banyak frasa dan norma  Ormas asing ataupun Ormas yang didirikan warga negara asing (WNA), namun  UU Ormas maupun  PP Ormas tidak mempunyai defenisi Ormas asing.  Kua teknis, jika frasa dipakai berkali-kali sepatutnya defenisi Ormas asing  dirumuskan dalam ketentuan umum. Namun UU Ormas dan PP Ormas hanya mengatur  apa  bentuk badan hukum Ormas yang didirikan WNA, yakni  berbentuk yayasan atau sebutan  lain yang sejenis.

Ada 3 (tiga) tipe Ormas asing: (1) badan hukum yayasan asing atau sebutan lain; (2) badan hukum yayasan yang didirikan oleh WNA,  atau WNA bersama WNI; (3) badan hukum yayasan yang didirikan badan hukum asing [vide Pasal 34 ayat (2) PP Ormas].

Ajaibnya, PP Ormas hanya mengatur Ormas badan hukum yayasan asing (tipe pertama) yang wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional [vide Pasal 35 ayat (1) PP Ormas]. Namun tidak untuk Ormas asing tipe kedua dan tipe ketiga versi Pasal 34 ayat (2) PP Ormas.

Patut dipertanyakan, mengapa hanya Ormas asing tipe pertama saja yang wajib memiliki izin prinsip dan izin operasional?  Sedang Ormas asing tipe kedua dan ketiga disahkan setelah mendapatkan pertimbangan tim perizinan [vide Pasal 36 PP Ormas]. Anehnya, soal perizinan, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing mesti menunggu dibuatnya PP tersendiri.

Kua juridis, Ormas adalah organisasi masyarakat yang berhimpunnya orang (persoon) atau insan manusia (human being). Bukan organisasi atau badan hukum (rechts persoon). Ajaib,  jika membolehkan Ormas yang bukan  perhimpunan orang, namun dibentuk badan hukum, seperti halnya badan hukum yayasan yang didirikan badan hukum asing [vide Pasal 34 ayat (2) huruf c PP Ormas].

Ketentuan itu bertentangan dengan norma primer dalam Pasal 9 UU Ormas  bahwa Ormas didirikan oleh  orang (persoon), maksudnya bukan badan hukum. Malah  ditegaskan orang  yang dimaksudkan adalah WNI.

Soal juridis lain, selain defenisi Ormas asing  tidak jelas dalam UU Ormas dan PP Ormas itu, bisa mengakibatkan gagalnya fokus pengawasan Ormas asing untuk tipe pertama, maupun tipe kedua dan ketiga.  Kalaupun PP Ormas membuat  cantelan aturan  bahwa Ormas asing terikat  prosedur perizinan, tim perizinan, dan pengesahan Ormas yang didirikan WNA, namun PP Ormas hanya menyebutkan Ormas dengan badan hukum yayasan tipe kedua dan ketiga disahkan Kementerian Hukum dan HAM apabila setelah mendapatkan pertimbangan tim perizinan [vide Pasal 36 PP Ormas].

Akan tetapi, ketentuan itu belum efektif karena pengaturan  ikhwal peizinan, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing itu dengan PP tersendiri belum ada. Sehingga  pemberian izin prinsip, izin operasional, tim perizinan dan pengesahan Ormas asing belum bisa dilaksanakan. Artinya, semestinya belum boleh ada Ormas asing versi Pasal 34 ayat (2) PP Ormas.  Kepada Menteri Hukum dan HAM perlu diminta klarifikasi,  apakah sudah ada Ormas asing yang disahkan?

Di tengah maraknya lalu lintas tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, perluasan rezim bebas visa, dan dibukanya keran investasi asing, maka sangat mudah bagi hanya segelintir orang  WNA, maupun seakan jenuin bersama dengan WNI mendirikan badan hukum yayasan yang dikualifikasi sebagai Ormas asing.

Pembaca budiman yang bersemangat kebangsaan. Jikalah memang tak ada  urgensinya Ormas asing itu, untuk apa terlalu mudah  membiarkan Ormas asing diberikan izin prinsip dan izin operasional, tanpa ada pengawasan secara khusus dan pembatasan lingkup Ormas asing dibandingkan Ormas domestik. Secara dini dan antisipatif, patut dikuatirkan permasalahan sosial politik yang bisa membenihkan ancaman bagi kedaulatan negara.

Apalagi dalam hal ikhwal pengawasan, sanksi dan larangan bahkan prosedur pembubaran Ormas, ketentuan  UU Ormas dan PP Ormas menyamaratakan atau tidak membedakan antara Ormas domestik dengan Ormas asing. Padahal logis dan rasional  jika kepada Ormas asing diterapkan  pengawasan dan pengendalian yang teliti dan khusus.

Sekali Ormas asing sudah didirikan dan disahkan pemerintah, sulit untuk membubarkannya. Sebab,  mesti melewati proses hukum yang panjang yakni diajukan ke pangadilan oleh kejaksaan  hanya atas permintaan Menteri Hukum dan HAM, itupun dengan syarat lebih dulu dijatuhi sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah  [vide Pasal 70 UU Ormas]. Karena itu, cermat dan waspadalah sebelum mengesahkan Ormas asing.

Meredupkan kekuatiran itu, patut ditempuh uji materil atas UU Ormas dan PP Ormas itu. Selain mempersoalkannya kepada pembuat aturan. Itu sangat logis dan faktual dalam praktik, apalagi hukum itu adalah essensial part of politics. Jika Roberto Unger menyebutkan pembuatan hukum sebagai mengintegrasikan paradigma konflik (kepentingan) dan konsensus, tentu pembaca bisa mafhum bagaimana logika Unger mengubah aturan hukum?

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share