Ketika Serigala Menggugat Manusia

TRANSINDONESIA.CO – Serigala sering menjadi analogi binatang jahat atau dekat dengan kejahatan. Serigala berbulu domba, serigala si pemangsa domba, serigala pemangsa nenek dalam ceritera kerudung merah, dalam film Dora pun serigala yang dilarang/ selalu diingatkan untuk tidak mencuri.

Label buruk serigala bukan hanya pada perilakunya, bahkan saat bersuara (melolong) pun dianggap sebagai tanda adanya roh jahat atau setan. Serigala dilabel sebagai pembunuh sesamanya walau manusia pelakunya, homo homini lupus. Manusia sbg serigala bagi sesamanya.

Benarkah serigala jahat? Seberapa besar kejahatanya? Apakah berdampak luas? Serigala walaupun dianalogikan sebagai apa saja ia tetap binatang. Kodrat binatang adalah secukupnya. Cukup buat makan dirinya dan kawannya sudah selesai. Ia tidak akan menimbun sampai tujuh turunan delapan tanjakkan. Menyimpanpun secukupnya dalam liangnya.

Serigala
Serigala

Siapa yang melabel serigala sebagai simbol jahat? Tentu manusia. Karena manusia bisaa merekayasa, menebar isu, memberi label, menebar ujaran kebencian, memfitnah, menuduh, menghakimi, membunuh hingga memusnahkan.

Manusia bisa berbulu apa saja, untuk menutupi kejahatanya yang luar biasa. Berdalih apa saja untuk pembenaranya. Toh serigala tidak bisa membalas/ memprotesnya. Kadang manusia tidak berbulu apa-apa malah hanya wajahnya yang ditutupi dengan topeng. Tidak malu lagi dengan menutupi wajahnya saja agar terus nampak suci, lurus, baik dan benar walau hati, pikiran, tangan dan  kakinya melakukan kejahatan.

Serigala dalam kawanan domba, kalaupun memakannya hanya satu dan masih juga ada sisanya. Coba kalau manusia, satu kawanan dihabiskan sampai kandang-kandangnya pun bisa dihajarnya tanpa sisa. Kalau perlu gembalanyapun dihajarnya juga.

Serigala pemangsa nenek si kerudung merah, dalam kerudung merah ia digambarkan sebagai binatang serakah yang menelan 2 manusia sekaligus. Namun kedua manusia yang ada di perut serigala dapat diselamatkan oleh sang pemburu dan mengganti isi perutnya dengan batu.

Mengapa manusia (nenek dan si kerudung merah masih bisa diselamatkan?) Ini menunjukkan sejahat-jahatnya binatang tidak melumat habis. Bayangkan bila manusia memakan mangsanya tidak ada sisanya sekalipun.

Ada joke yang mengatakan, saat manusia hidup namanya bermacam-macam namun saat mati hanya dikatakan mayat. Kalau binatang yang jadi santapan manusia, saat hidup hanya memiliki satu nama, namun sesudah mati namanya bermacam macam (dari……. rebus, …..panggang,…..guling, …..bakar, rica-rica….., ….. bumbu pedas, dan lainnya).

Serigala (swiper) dalam film Dora the Explorer diceriterakan suka mencuri. Namun saat swiper akan mencuri selalu diingatkan dan kalaupun berhasil mencuri selalu dapat diamankan dan diselamatkan. Maknanya sejahat-jahatnya binatang selalu ada batas secukupnya, dan masih bisa diingatkan atau dicegah.

Bagaimana dengan manusia? Apalagi membentuk kawanan dan menjadi mafia, melakukan kejahatan tidak hanya perorangan, bukan sekedar untuk makan dan memenuhi kebutuhan pokoknya melainkan ditimbunya untuk tujuh turunan dan 8 tanjakkan, tidak ada standar batas cukupnya.

Semua bisa dilakukan dengan cara apa saja dan berbagai dalih topeng, kepura-puraan bisa dilakukan dengan sadar bahkan membanggakan.

Binatang melakukan karena nalurinya, instingnya dan secukupnya. Sedangkan manusia dengan segala kesadaranya, merencanakan, mendisain, menggunakan akal budinya, melakukan tanpa perasaan bersalah dengan mengatasnamakan/mengkambing hitamkan, bahkan memusnahkan dapat dilakukannya.[CDL21112016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share