Polda Jatim Catat Kekerasan Anak dan Perempuan Meningkat

TRANSINDONESIA.CO – Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Ditreskrimum Polda Jawa Timur, Kompol Yasinta menyatakan kekerasan pada anak dan perempuan terus meningkat setiap tahunnya, dan layak dikatakan darurat kekerasan terhadap anak.

“Tahun 2015 ada 672 kasus kekerasan anak dan perempuan, sedangkan tahun 2016 per September saja sudah mencapai 600-an,” ungkapnya dalam talkshow “Mencegah Kekerasan Pada Anak Dalam Kehidupan Sehari-hari untuk memperingati Hari Anak Sedunia di Gedung Robotika ITS, Sabtu 19 Nopember 2016 malam.

Yasinta mengatakan kasus kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di Jawa Timur didominasi kejahatan persetubuhan dan kekerasan. Sementara itu dari 38 kabupaten kota di Jatim, jika tahun lalu Surabaya menempati posisi teratas sebagai kota yang rawan kekerasan anak, maka tahun ini Kota dan Kabupaten Malang mendominasi pelaporan kekerasan anak ini.

Ilustrasi
Ilustrasi

“Akhir-akhir ini banyak kasus yang dilaporkan karena sosialisasi tentang kekerasan anak juga semakin banyak. Indeksnya memang sangat meningkat,” jelasnya.

Dalam kasus kekerasan anak, tambahnya tidak perlu ada ketakutan atau rasa malu dalam melaporkannya.

Sementara itu, Anggota DPRD Jatim, Agatha Retnosari mengungkapkan pihaknya merasa prihatin dengan masalah kekerasan yang menimpa anak di Jatim.

Jika peraturan daerah dan peraturan gubernur untuk kekerasan pada wanita sudah ada sejak tahun 2012. Sayangnya untuk kekerasan pada anak masih hanya berdasarkan peraturan daerah belum ada peraturan gubernur yang menguatkan.

“Setidaknya awal tahun bisa disahkan. Karena cukup banyak macam korban anak di dalamnya pergub yang bisa melindungi anak-anak yang mengalami tindak kekerasan,” ungkapnya.

Psikolog anak, Soffy Balgies Mpsi mengungkapkan kasus kekerasan pada anak, apalagi kekerasan seksual bisa terjadi pada anak di lingkungan manapun. Sekalipun dalam lingkungan religi.

Untuk itu, ia menekankan agar tindak kekerasan seksual harus tetap dilaporkan sebagai edukasi dan efek jera. Sebab anak akan tetap merasakan trauma psikologis.

“Ada juga kasus guru ngaji yang melakukan kekerasan seksual yang minta maaf juga sudah. Tetapi hal ini harus tetap dilakukan hukumnya, sebagai edukasi juga buat masyarakat. Karena tidak ada jaminan dia tobat dan berubah lebih baik,” paparnya.[ANT/ATS]

Share
Leave a comment