Mengupas Kewajiban 20% Rusun Umum (1)

TRANSINDONESI.CO – Anda pengembang rumah susun (rusun) komersial ataupun apartemen? Bersiaplah memelototi  detail kewajiban menyediakan  20% (dua puluh persen) rusun umum dari total luas lantai rusun komersial yang dibangun. Tak ada kewajiban tanpa norma aturan, itu asas legalitas yang dianut dalam hukum nasional.  Dari mana datang kewajiban itu? Eksplisit dan terang benderang diterakan dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rusun”).

Mengapa terang benderang? Sebab, jika dibandingkan dengan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU PKP”), norma aturan kewajiban hunian berimbang untuk rumah tapak  tidak diterakan  berapa jumlah kuantitatif seperti Pasal 16 ayat (2) UU Rusun. Namun dinormakan dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera). Pembuat UU Rusun berkehendak mengatur kewajiban 20% itu eksplisit, terukur, dan  bahkan dengan  ancaman sanksi pidana, maka disiapkanlah Peraturan Pemerintah (PP). Maksud baik yang mesti didukung, dan pelaku pembangunan bersiaplah menuju perubahan.

Namun,  penting merumuskan takrif dan norma hukum yang pasti dan tidak abu-abu ikhwal kewajiban menyediakan 20% rusun umum versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu.  Berbagai soal bisa dielaborasi. Misalnya,  apakah maksud dari frasa “yang dibangun” dalam  mendefenisikan  kewajiban 20% itu?

Rusunawa untuk MBR.[Ist]
Rusunawa untuk MBR.[IST]
Jika mengacu  Pasal 16 ayat (2) UU Rusun, jelas dibunyikan  kualifikasinya  kepada total luas lantai rusun komersial yang dibangun. Tidak dinormakan  sebagai  total luas lantai rusun komersial yang direncakana akan dibangun.  Tidak pula berdasarkan total luas tanah yang dialokasikan.  Yang dipakai  frasa “yang dibangun”,  bukan perencanaan pembangunan. Lagi pula  Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu tertera dalam Bab V Pembangunan, bukan Bab IV Perencanaan.  Artinya frasa “yang dibangun” dimaksudkan rusun komersial yang sudah nyata selesai dibangun, bukan  versi  perencanaan proyek ketika mengurusi perijinan?

Konsekwensinya,  kewajiban 20% itu berikut ancaman sanksi pidananya telah timbul apabila telah ada perbuatan tidak mematuhi  Pasal 16 ayat (2) UU Rusun setelah selesai membangun rusun komersial, bukan pada saat merencanakan. Lagi pula kewajiban itu bisa dilaksanakan pada lokasi lain atau tidak dalam satu hamparan rusun komersial yang diatur Pasal 16 ayat (3) UU Rusun.   Disinilah arti pentingnya kepastian hukum atas rumusan Pasal 16 ayat (2) UU Rusun, termasuk turunannya dalam PP yang sedang digodok pemerintah.

Mengapa soal ini penting dikupas? Sebab, terkait kapan mulai berlaku dan dapat dikenai sanksi. Sekedar tukar pengalaman,  dalam praktik kapan  mulainya  kewajiban 20% itu  sempat menjadi debat kencang dengan  penyelidik  setakat  memeriksa saksi tatkala perkara hunian berimbang rusun dilaporkan dan diperiksa instansi kepolisian.

Tepat jika  kualifikasi total luas lantai rusun komersial dan  kualifikasi “yang dibangun”  juga diambil alih dan dirumuskan  dalam Pasal 3 ayat (1) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Rumah Susun (“RPP Rusun”). Klop-lah, bahwa kewajiban menyediakan 20% rusun umum itu atas total luas lantai rusun komersial yang selesai dibangun, bukan direncanakan dibangun.

Soal lain masih jamak.  Diantaranya, dari mana logika menghitung kewajiban menyediakan 20% rusun umum itu?  Merujuk Pasal 16 ayat (2) UU Rusun, kewajiban  menyediakan 20% itu rusun umum itu dihitung dari  total luas lantai rusun komersial yang dibangun.

Apakah yang dimaksud luas lantai itu?  Apakah hanya luas lantai satuan rumah susun (sarusun) komersial? Atau luas lantai seluruh rusun komersial  dan mencakup pula luas lantai selain sarusun,  seperti  selasar, jalan koridor, ruang warga,  dan fasilitas umum lain?

Kemudian perihal total luas lantai rusun komersial, apakah menghitungnya  dari luas lantai “karpet” yang dihitung di tahap akhir saat penyerahan atau sesuai rancangan pertelaan, atau pertelaan sesuai data juridis dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) Sarusun?   Isu-isu hukum itu mesti tertuang dengan pasti agar  tidak ada keraguan dalam merumuskan aturan turunan, baik PP maupun Peraturan Menteri.  Mengapa? Sebab soal itu  mengkait  kualifikasi perbuatan yang diancam sanksi atau tidak. Soal sanksi mesti eksplisit, pasti dan detail.

Kewajiban menyediakan rusun umum Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu dituangkan  idemditto  dalam  ketentuan  dalam  Pasal 3 ayat (1) RPP Rusun yang juga menggunakan  frasa “menyediakan”  rusun umum,  bukan “membangun” rusun umum.   Secara harfiah berarti kewajiban pelaku pembangunan bisa membangun sendiri atau  disediakan  dengan menyerahkan pelaksanaan pembangunan kepada  pihak lain, maksudnya badan hukum lain.

Hal sedemikian dirancang  dalam Pasal 6 ayat (1) RPP Rusun bahwa kewajiban menyediakan sekurang-kurangnya 20% rusun umum  dapat dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan lain. Namun tidak mengalihkan tanggungjawab itu kepada pihak lain.  Kerjasama itu diformulasi menjadi perjanjian kerjasama yang dibuat di depan pejabat yang berwenang (vide Pasal 6 ayat (2) RPP Rusun), dan wajib dilampirkan dalam pengajuan IMB kepada Pemerintah Daerah (vide Pasal 6 ayat (3) RPP Rusun).

Berbeda dengan UU PKP Pasal 36 ayat (4) yang menentukan pembangunan hunian berimbang rumah tapak dilakukan  oleh badan hukum yang sama. Ada perbedaan normatif antara UU Rusun dengan UU PKP soal penyerahan pelaksanaan pembangunan hunian berimbang kepada pihak lain. Walau kemudian dikesampingkan dengan Permenpera No. 10 tahun 2012.

Kembali ke soal kewajiban menyediakan 20% rusun umum yang dapat dikerjasamakan (vide Pasal 6 RPP), berarti kewajiban 20% itu tidak dikompensasikan dalam bentuk lain atau ke dalam sejumlah uang tunai. Namun mesti menyediakan dalam bentuk rusun umum yang dimaksudkan untuk kelompok MBR.

Tak ada celah hukum untuk menyimpangi kewajiban menyediakan 20% rusun umum itu dengan mengubahnya menjadi pengalihan kewajiban seperti konsep pengalihan utang, namun pelaksanaan kewajiban itu dapat  dikerjasamakan dengan pelaku pembangunan lain.

Tidak pula ada pula celah melakukan konversi kewajiban itu dalam bentuk uang tunai. Sebab,  maksud asli (original intens) kewajiban versi Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu berasal dari kehendak melaksanakan hunian berimbang dalam pembangunan rusun, seperti halnya hunian berimbang untuk pembangunan rumah tapak versi Pasal 34 s.d Pasal 36 UU PKP  yang dimaksudkan  untuk mengatasi defisit rumah alias backlog.

Mestinya, pengaturan lebih lanjut bagaimana menyelenggarakan kewajiban Pasal 16 ayat (2) UU Rusun itu dituangkan ke dalam RPP Rusun, bukan hanya mengulangi dan memindahkan (translasi) norma UU Rusun ke dalam RPP.  Kesempatan mengatur kewajiban itu dengan  PP dan Peraturan Menteri  jangan disia-siakan hanya perulangan norma.  Apalagi jika pembahasan  RPP itu tidak  melibatkan  stakehoder  dan pelaku pembangunan karena bisa mengurangi kadar kepatuhan dan efektifitasnya. Kita tunggu langkah responsif dan partisipatif Pemerintah melibatkan publik.

[Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, dan Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share