Mengoptimalkan Hak Anak Indonesia
TRANSINDONESIA.CO – Dari laporan UNICEF (lembaga PBB untuk anak-anak) berjudul Cerita dari Indonesia (2015), dari sekitar 250 juta orang penduduk Indonesia, sebanyak kurang lebih 84 juta pada 1 Maret 2016, di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Secara populatif anak Indonesia sesungguhnya memiliki posisi strategis sebagai generasi muda penerus cita-cita perjuangan untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Namun demikian status dan kondisi anak Indonesia realitasnya masih memprihatinkan.
Masih terdapat anak-anak Indonesia yang belum memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat yang sama seperti orang dewasa, antara lain hak mendapat perlindungan dari berbagai kekerasan.
Secara spesifik terkait dengan kekerasan seksual dimaknai sebagai bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik yang senantiasa menjadi fenomena memprihatinkan.
Informasi yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia bahwa pada lima tahun terakhir peristiwa kekerasan yang menimpa pada anak tergolong terus meningkat sebagaimana tergambar dalam data sebagai berikut:
Diagram
Faktor utama yang menyebabkan meningkatnya kasus kekerasan pada anak pada masa kini antara lain makin longgarnya nilai-nilai yang seharusnya menjadi fondasi pembentukan karakter (character building) mengalami disfungsional.
Sebagai suatu harapan akan terjadinya suatu keadaan yang nirkekerasan terutama tindakan kekerasan seksual pada anak maka penulis mengetengahkan tulisan ini untuk menjadi refleksi bersama dan upaya mengoptimalkan pemenuhan hak anak untuk mendapat perlindungan.
Perangkat Hukum Perlindungan Anak
Pemerintah Indonesia sesungguhnya relatif akomodatif dengan berbagai amanat konvensi PBB terkait untuk hak-hak anak melalui amanademan UUD 1945 yang memuat tentang “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B).
Demikian halnya terdapat UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun demikian fenomena kekerasan seksual pada anak masih terus menjadi perhatian, sampai kemudian Presiden mengeluarkan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Meskipun awalnya Perppu tersebut menuai pro-kontra akan tetapi menurut penulis berpendapat sebagai bentuk kehadiran negara, maka norma pemberatan sanksi pidana dan pemberian sanksi tambahan terhadap tindakan kekerasan seksual pada anak diharapkan menjadi instrument pencegahan dan membuat efek jera bagi pelaku, sehingga mampu menekan angka pengulangan tindakan kekerasan seksual pada anak penting diberlakukan.
Peran Keluarga, Masyarakat dan Negara
Peristiwa memilukan yang acapkali menimpa pada anak tidak lepas dari situasi global yang cenderung diwarnai oleh kemajuan teknologi komunikasi dan inforamsi yang menawarkan budaya hedonis dan memudarkan nilai-nilai luhur baik di lingkungan keluarga, masyarakat dan negara.
Di ranah keluarga baik yang status ekonominya kurang menguntungkan maupun keluarga yang berkecukupan karena faktor kurangnya perhatian pada anak sehingga anak tidak mengetahui cara melindungi diri dari berbagai kemungkinan yang akan menimpa dirinya.
Sistem sosial masyarakat yang masih patrialkhal menempatkan laki-laki pemilik otoritatif banyak mengandung kekerasan gender kerap menjadi penyebab makin suburnya praktek kekerasan seksual yang menempatkan pelaku kejahatan seksual dianggap tidak bersalah dan lebih menyalahkan pada korban.
Persepsi sosial yang berkembang di masyarakat membuat korban tidak berani melapor dan dikucilkan sehingga korban seakan tidak memiliki masa depan bahkan putus harapan (Bagong Suyanto, 2016). Kemudian lemahnya penegakan hukum (law enforcement) turut andil membuka peluang bagi predator yang tidak jera dan terus membidik anak-anak dengan berbaga iming-iming.
Demikian halnya bagi korban dihadapkan pada proses hukum yang rumit berbiaya tinggi, penanganan yang kerap tidak manusiawi dan implementasi ancaman hukum yang belum ditegakkan membuat kasus-kasus kekerasan seksual tenggelam selama bertahun-tahun dan membiarkan para korbannya tumbuh tanpa intervensi psikologis yang tepat (Abu Hurairah, 2012).
Dalam kebanyakan kasus, orang yang melakukan pelanggaran seksual pada anak adalah orang dewasa atau remaja yang dikenal korban, sering kali merupakan figur otoritas yang diketahui, dipercaya atau dicintai oleh si anak. Pelaku biasanya menggunakan paksaan dan manipulasi, tanpa kekuatan fisik untuk memanfaatkan korban. Ini berarti hak-hak anak terhadap perlindungan dari segala bentuk kekerasan terutama kekerasan seksual tidak terpenuhi.
Oleh karena itu upaya mengoptimalkan hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman maupun tindakan kekerasan seksual yang efektif antara lain dilakukan tiga elemen yaitu ranah keluarga, masyarakat dan negara. Terdapat penggalan syair yang mengatakan الأولى مدرسة الأم bahwa ibu adalah sekolah yang utama.
Dalam pengertian luas sesungguhnya pendidikan dini yang ditanamkan kepada anak oleh orang tua melalui ketauladanan dan penanaman nilai-nilai agama menjadi fondasi pembentukan karakter anak.
Pembentukan karakter dan mental mental yang sehat yaitu terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat (Zakiyah Derajat,1975).
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang menentukan perkembangan seorang anak. Di dalamnya, seorang anak akan mendapatkan pendidikan yang mendasar, seperti pembentukan moral dan pendidikan keagamaan.
Elemen masyarakat dalam hal ini Sekolah juga memiliki peran mengoptimalkan dalam hal perlindungan anak dari tindakan kekerasan seksual. Dalam pendidikan baik dalam kelurga dan sekolah mampu memberi pengaruh bagi pertumbuhan individu dalam hal potensi fisik, spiritual, individual, sosial dan religius, sehingga menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang menyatu dengan jenis dan sifat khusus lingkungan setempat.
Pembentukan akhlak tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga, tetapi dimanapun itu, seorang anak juga harus dibentuk akhlak mereka, seperti halnya di lingkungan sekolah. Sebelum memulai pelajaran, murid dituntun untuk membaca atau menghapal doa – doa.
Dengan demikian, diharapkan dengan terbentuknya akhlak akan mencetak anak yang berkepribadian dan mereka bisa membedakan bahkan menjauhi hal – hal yang dapat mengancam mereka.
Menceritakan dongeng yang berisi pesan moral, menghimbau sisw/i untuk berhati-hati terhadap orang yang belum dikenal, membahas topik tertentu dalam kegiatan parenting yaitu kegiatan pertemuan antara guru dengan para wali murid yang membahas permasalahan aktual misal kesehatan reprodukasi akan menjadi sarana mengurai problematika yang dihadapi anak-anak.
Peran negara dalam upaya mengoptimalkan hak anak atas perlindungan terhadap kekerasan seksual antara lain dengan penegakan hukum. Sistem penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh para penegak hukum: Polisi, Jaksa, Hakim dituntut memiliki sikap dan perilaku yang benar-benar berorientasi pada kebenaran substansial dan keadilan masyarakat.
Mengingat sebagian besar kasus yang diangkat terkait kekerasan terhadap anak hanyalah kasus-kasus yang sebelumnya telah diekspos besar-besaran oleh media cetak dan elektronik, dimana pengaruh ”interest groups” dan juga ”public opinion” sangat kuat. Sebenarnya masih banyak menyangkut kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang sama sekali tak tersentuh oleh hukum.
Untuk itu, sangat diperlukan adanya peran aktif tidak hanya dari masyarakat tapi juga yang utama adalah perhatian ekstra dari para aparat penegak hukumnya, sehingga akan tercipta kondisi aman khususnya bagi anak-anak penerus bangsa ini.
Disamping itu, baik elemen keluarga, sekolah dan negara wajib bersinergis memastikan tercapainya kesejahteraan dalam arti pemenuhan kebutuhan material- spiritual yang seimbang bagi anak-anak.
Kendatipun saat ini negara memiliki berbagai program jaminan sosial, namun demikian elemen keluarga dan masyarakat perlu proaktif untuk mengakases dan berkreasi bagaimana ketahanan keluarga bisa terbangun. Dengan terpenuhinya aspek kesejahteraan diharapkan mampu mengeliminasi problem sosial termasuk kekerasan terhadap anak.
Kesimpulan
Bahwa upaya mengoptimalkan hak anak Indoensia khususnya pada aspek hak perlindungan dari tindakan kekerasan seksual seyogyanya dimulai dari upaya pencegahan melalui berbagai isntrumen.
Keluarga memegang peran penting dalam pembentukan karakter anak sebagai fondasi penguatan fisik, psikis dan spiritual sehingga ketika dalam masa golden age berbagai perubahan zaman dapat terlampau dengan selamat.
Masyarakat terutama lingkungan sekolah juga memiliki andil signifikan sebagai upaya mengoptimalkan hak anak memperoleh perlindungan dari ancaman kekerasan seksual. Karena dengan anak bersosialisasi dengan teman sebaya dan mendapat pencerahan dari guru akan membantu kesehatan jiwa anak-anak.
Kemudian yang tidak kalah penting yakni peran negara dalam hal ini para penegak hukum dalam proses penegakan hukum harus mengimplementasikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memperlakukan pelaku dan korban dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan.
[Umi Zahrok, M.Si – Pengurus PP Muslimat NU, Alumni FISIP UI, Political Advisors Course in Sydney University dan Pendidikan Khusus National Security Studies Program 2015-2016 in Bhayangkara Jakarta Raya University]