RUU Migas: Mosi Hak Lokal dan National Oil Company (3)
TRANSINDONESIA.CO – Dulu Pangkalan Berandan menjadi kilang minyak pertama dan sempat berjaya sebagai julukan kota minyak. Kini kikis tinggal kenangan. Dengan judul “Pertamina Tutup Pangkalan Berandan” media online detik finance 08/03/2007 mewartakan hilil kegiatan unit pertama Pertamina itu.
Demikian pula berbagai daerah yang punya migas dan menjadi wilayah kerja kontraktor asing (international oil company/IOC), pasti memiliki resiko idemditto.
Siapakah yang berdaulat atas sumberdaya energi migas itu? Kalau UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan Hak menguasai Negara (HMN), bukankah letaknya ada di daerah. Seperti apa pengakuan hak lokal yang menjadi bagian inheren dari HMN dan hak menikmati hasil tambang itu?
Tersebab itu, bicara kedaulatan energi tak cuma ikhwal tata kelola, peningatan penerimaan pemerintah, partisipasi besar National Oil Company (NOC), namun soal lain yang tak kalah penting untuk siapa hasilnya dikuras? Adakah justifikasi pengakuan hak lokal (local rights) untuk kesejahteraan rakyat lokal? Maksudnya, pemahaman HMN atas migas tak melulu dimaknai hanya sebagi miliknya pemerintah dalam arti pemerintah pusat, namun termasuk pemerintah daerah sebagai pengakuan local rights.
Implikasinya? Dalam hal menikmati pembagian hasil pendapatan, mengelola dan memiliki porsi dalam pengusahaan wilayah kerja yang signifikan bagi daerah tempat berada dan berasal sumberdaya migas. Termasuk pula memberdayakannya kembali dan recovery lingkungan paska produksi, seperti halnya nasib yang kini melanda Pangkalan Berandan.
Di luar kasus migas misalnya, adalah sangat mengusik keadilan apabila seluruh saham perusahaan BUMN yang berada di atas tanah Sumatera Utara misalnya Inalum, yang airnya berasal dari danau Toba, airnya dialiri oleh/melalui sungai Asahan, dengan daya dukung lingkungan dan sosial berada di kawasan masyarakat lokal untuk menghidupkan “mesin” industri Inalum.
Akankah adil Pemda Sumut dan Pemda sekeliling Danau Toba dan sungai Asahan tidak mempunyai saham atas perusahaan BUMN yang baru saja divestasi tuntas sisa 58,1 % saham Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang per 1 Nopember 2013 itu?
Pun demikian RUU Migas penting menjadi momentum untuk menyejahterakan rakyat termasuk rakyat/warga lokal. Bukankah ketimpangan dalam penguasaan tanah demikian pula sumber daya alam dan energi acap menjadi picu kesenjangan?
Ada yang berpendapat perihal hak lokal sudah diakui dan diadaptasi dengan memberikan apa yang disebut Participating Interest (PI). Pemerintah menegaskan besaran hak partisipasi atau Participating Interest (PI) untuk daerah penghasil migas tidak mengalami perubahan atau tetap 10% (sepuluh persen) yang merujuk PP No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP No.35/2004). Diwartakan, BUMD dapat meningkatkan PI melalui farm in atau pengalihan interest dari suatu wilayah kerja yang telah berproduksi, dengan cara business to business.
Pengaturan PI ini semestinya ditafsirkan ulang dengan menariknya sebagai bagian dari takrif Hak Menguasai Negara (HMN) untuk Pemda, sebab migas sebagai kekayaan nasional tidak bermakna hanya dipahami sebagai pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan ala UU Migas.
Urgensi memasukkan PI dalam RUU Migas semakin kuat karena rezim UU BUMN sekarang ini masih menganut BUMN sebagai perusahaan plat mereh milik pemerintah pusat saja, bukan Pemda. Hal itu yang terjadi pada sejumlah BUMN perkebunan yang tanahnya berada di daerah, komoditas perkebunannya di tanam di atas tanah daerah, namun semua sahamnya milik pemerintah pusat. Tersebab itu, maka UU BUMN mesti diubah dengan mengakui pula hak lokal, justifikasi pengakuan NOC yang terintegrasi vertikal dan porsi partisipasi NOC lebih 50% dalam pengusahaan dan produksi migas.
Jika hendak menata ulang tata kelola migas, maka hal terpenting menentukan bahwa Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan (mining rights) dan kepada siapa hendak diberikan pembuat kebijakan (policy) dan siapa otoritas mengatur (regulator), dan instiusi mana yang melakukan pengusahaan bisnis (economic/bussiness rights). Namun apapun pilihannya, tata kelola migas menghendaki NOC yang kuat dan signifikan.
PERTAMINA sebagai NOC mesti dijustifikasi dalam RUU Migas dan bukan itu saja namun memberikan peran partisipasi yang besar, tidak selama era rezim UU Migas 2001 hanya menguasai 20% saja produksi nasional, sedangkan International Oil Company (IOC) di Indonesia menguasai produksi 80%. Menilik Aljazair, UU Hidrokarbon 2005 menentukan untuk kontrak eksplorasi maupun eksploitasi dengan porsi partisipasi Sonatrach minimum 51%. Venezuela dengan UU Hidrokarbon 2002, PDVSA sebagai NOC (mi.50%-60%). Di UEA, investor asing maksimal 40%. Umumnya semua model PSC mewajibkan partisipasi NOC 50%. (Benny, “Ekonomi Migas”, h.150). Ajaibnya, Indonesia hanya kuasai 20% saja?
Untuk menambah penerimaan pemerintah (government take/GT), tata kelola dan kontrak migas sebagai turunannya mesti memberikan jurus partisipasi besar kepada NOC, PI yang berjalan efektif, regulasi yang pro kepada NOC yang terbit sebagai progresifitas klausul PSC ikhwal perolehan profit oil share.
Tak kalah penting menormakan recovery fund dalam status sebagai keuangan negara karena dikompensasikan dari minyak yang dihasilkan atau keluar dari sumur minyak yang kua materil adalah perbendaharaan negara. Pengetian luas Keuangan Negara dapat merujuk Prof.Dr.Hamid Attamimi,SH., bahwa Keuangan Negara itu tidak hanya bersumber dari APBN, BUMN maupun BUMD, dan pada hakekatnya seluruh harta kekayaan negara merupakan Keuanga Negara (Dr.Arifin P.Soeri Atmadja, “Kapita Selekta Keuangan Negara-Suatu Tunjauan Yuridis”, 1996, h.3). Karenanya, penyimpangan dalam penentuan recovery fund memiliki konsekwensi idemditto keuangan negara.
Mendisain tata kelola migas untuk menggantikan UU Migas 2001, beralasan menjustifikasi PERTAMINA sebagai NOC, menormakan partisipasi NOC lebih dari 50% masuk dalam RUU Migas. Demikian pula ikhwal PI yang hanya diatur dalam PP No. 35/2004 mesti diangkat dalam RUU Migas.
Justifikasi hak lokal yang dikonstruksikan sebagai PI itu diangkat menjadi materi muatan RUU Migas, adil dan relevan jika berangkat dari pengalaman berbagai daerah yang dikuras migasnya seperti Pangkalan Berandan yang kini menjadi kota yang hanya mewarisi kilang “barang rongsokan” akibat siklus degradasi industri tambang.
Belajar dari sejarah, akankah kita menghendaki nasib suram dialami daerah penghasil migas lain paska disedotnya kekayaan migas dari daerah itu? Demi keadilan dan takrif HMN, pengaturan hak lokal yang menjadi bagian inheren HMN itu mesti diintegrasikan ke dalam RUU Migas. Hak lokal sebagai kandungan HMN patut diatur dalam Undang-undang.
Sudah saatnya segera membahas dan mengesahkan RUU Migas mengganti rezim lama UU Migas 2001 yang menegasikan PERTAMINA sebagai NOC dan terbukti menurunkan partisipasi NOC yang mestinya memimpin pengusahaan migas di negeri sendiri.
Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Asdvokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]