Rumah Kamnas: Ujaran Kebencian Harus Masuk RUU PTPT

TRANSINDONESIA.CO – Ketua Umum Rumah Keamanan Nasional (Kamnas), Maksum Zuber, berharap Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (PTPT) mengkaji dan serius mengamati eskalasi yang cenderung tinggi pada ujaran kebencian (hate speech) dan mempertimbangkan organisasi yang tidak mau mengakui Pancasila.

Hal itu diungkapkan Maksum Zuber mengingat maraknya media sosial (medsos)  dengan mudah mengkafirkan orang lain (takfiri) secara sembrono berlindung dibalik dalil-dalil agama dapat  membuat masyarakat awam salah memahami dan terprovokasi melakukan tindakan pidana.

“Beragama untuk saling berbuat kebajikan, bukan untuk memecah belah,” kata Maksum kepada wartawan di Jakarta, Senin 3 Oktober 2016.

Mengingat kejahatan berbasis kebencian, Maksum teringat buku berjudul “Atas Nama Kebencian” yang ditulis  almarhum Brigjen Pol. DR. Maruli CC Simanjuntak MSi.

Ujaran Kebencian
Ujaran Kebencian

Dimana, Violent Crime Control and Law Enforcement Act 1994 (Altschiler 2005, 5) mendefinisikan kejahatan berbasis kebencian adalah kejahatan yang pelakunya dengan sengaja (berniat) memilih korbannya, atau dalam hal ini si pelaku memilih sasaran/target yang merupakan obyek dari kejahatan yang dilatarbelakangi kebencian terhadap ras, warna kulit, agama, asal kebangsaan, etnis, jenis kelamin, orang cacat, atau orientasi seksual dari orang tersebut.

Federasi Bureau of Investigation (FBI) mendefinisikan kejahatan berbasis kebencian sebagai “tindakan criminal yang dilakukan pelaku terhadap seseorang, sesuatu, atau benda yang dimotivasi secara keseluruhan atau sebagian karena bias ras, etnis, warna kulit, agama dan orientasi seksual” (Ronczkowski 2007, 36), kejahatan ini ditujukan kepada kelompok anggota sebuah kelompok tertentu karena sifat keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut.

Menurut Jacob dan Potter (1998,27) Hate Crimes adalah Criminal Law and Indentity Politics; kejahatan ini adalah kejahatan sosial yang tidak mengandung makna tersendiri untuk mengukur skala masalah atau hukuman yang pantas dan sangat tergantung pada bagaimana kejahatan itu diartikan atau didefinisikan.

“Ini  menyangkut konteks norma sosial, perubahan sosial dan hukum dan pengaruh berbagai hal seperti politik, budaya atau faktor lingkungan di level lingkungan yang berbeda-beda,” ujarnya.

Hasil penelitian Walters (2010)  sebut Maksum, menyimpulkan bahwa terjadinya proses kejahatan kebencian dipandang sebagai hasil adaptasi dari frustasi atas kegagalan dengan cara-cara yang sah mencapai tujuan budaya berupa kesuksesan materi.

Sebagai contoh, orang Asia diserang kelompok yang merasa dirugikan dengan kekuatan ekonomi yang berkembang dari orang-orang Jepang dan Korea serta keberhasilan perdagangan Asia-Amerika.

Penelitian Walters dengan pendekatan teori Merton serta Gottfredson dan Hirchi menjelaskan mengenai pelaku kejahatan dan faktor-faktor penyebab dalam diri pelaku, kesimpulan penelitiannya bahwa kejahatan tersebut dilakukan sebagai manifestasi rasa frustasi mencapai kesuksesan dalam berkompetisi dan rendahnya tingkat penegndalian diri.

Kasus-kasus kejahatan kebencian dalam pengertian Durkheim disebut anomi di tengah masyarakat (Mustofa 2006, 137), situasi ini ditandai adanya ketidak selarasan antara harapan dengan pengaturan hubungan sosial dalam masyarakat tertentu. Akibatnya, terdapat ketidakpuasan dalam bentuk disorientasi individu, kehidupan sosial yang bersifat merusak dan konflik meluas. Saat masyarakat menuju disorientasi, anomi bakal terjadi (mustofa 2006, 134-142).

Keadaan anomi terjadi lantaran pengendalian sosial di suatu masyarakat melemah, ujungnya meledak menjadi gangguan keamanan berbentuk kerusuhan masa, perbuatan anarkis dan kejahatan kebencian. Kondisi inilah oleh Durkheim disebut social currents.

Menurut Durkhheim (Ritzer 2011, 87) social currents merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan dirinya secara jelas. Durkheim mencontohkan beberapa bentuk sosial currents “gelombang besar antusias, kemarahan, dan rasa kasihan yang tercipta dalam kerumunan massa”.

“Kita mudah terbawa terbawa sosial current semacam ini. Dalam bahasa yang lebih sederhana sosial currents sebagai emosi kolektif dalam kelompok yang memiliki dampak yang lebih kuat daripada emosi masing-masing individu itu sendiri,” terang Maksum.[DOD]

Share