Laga Tanpa Raga: Nendang dan Ditendang

TRANSINDONESIA.CO – Makna nendang bisa berbeda dengan makna harafiahnya menggunakan kaki untuk mengenai sasar. Selain itu bisa juga dimaknai untuk menyingkirkan, atau sesuatu yang cukup mengenyangkan.

Bagi yang bisa nendang bisa memamerkan kebahagiannya, sebaliknya bagi yang ditendang akan menunjukkan kesakitannya. Di dalam birokrasi tendang menendang tidak dimunculkan walau bisa dirasakan.

Menendang tanpa kaki menjadi suatu bukti bahwa ada janji atau transaksi bisa juga karena hutang budi. Bagi yang ditendang, sakitnya bukan hanya di sini tetapi sampai ke dalam hati.

Ilustrasi
Ilustrasi

Tendang menendang ini adu kekuatan siapa kuat dia menang. Nendang tapi tidak kuat akan mencelat sendiri. Adu kekuatan, adu kesaktian, laga tanpa raga.

Beradu tanpa raga tidak nampak namun bisa dirasakan, dari sikap, perkataan, bahkan hujatan hingga fitnahan. Mengadu domba, memecah belah, menabur kebencian sampai membuli dengan bumbu-bumbu sedap yang dapat terhisap ke semua penjuru.

Tatkala subyektifitas semakin mengalahkan obyektifitas maka laga tanpa raga akan terus menjadi pilihan. Kekuatan-kekuatan dicurahkan bagi kekuasaan untuk penguasaan sumber daya. Siapa takut jangan ikut. Konteks ini semacam judi bisa nendang tetapi harus utang. Bisa juga menendang malah jadi terlentang.

Laga tanpa raga merepotkan obyektifitas, karena semua ada labelnya. Label-label itu bertingkat tingkat bervariasi sesuai daya yang disediakan atau yang akan didapatkan.

Menendang bisa salah sasaran, si penendang malah menjadi pingsan karena ketiban utang. Ada pula bisa menendang tidak sesuai harapan, ahirnya berbuah ratapan. Daya penendang tidak dapat dikembalikan.

Menendang bukan sekedar menabuh kendang, perlu perhitungan yang matang. Laga tanpa raga bisa ikut menendang atau juga ditendang, tanpa luka namun selalu ada rasa baik suka maupun duka.[CDL07082016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share