67 Kasus Trafficking di Jatim

TRANSINDONESIA.CO – Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur (Jatim) itu, Wiwik Afifah, mencatat 67 kasus “trafficking” (perdagangan orang) terjadi di Jatim selama kurun 2012-2015.

“Data yang diungkap Polda Jatim itu tidak dapat dianggap kecil, karena korbannya bisa mencapai ratusan orang, sebab satu kasus trafficking bisa saja ada 29 korban dan seterusnya,” katanya di Surabaya, kemaren.

Dirincinya, ke-67 kasus trafficking itu meliputi 43 kasus pada tahun 2012, 15 kasus pada 2013, sembilan kasus pada 2014, dan belum ada laporan untuk tahun 2015 dan 2016.

Ilustrasi
Ilustrasi

Kemiskinan menjadi pemicu adanya TKI ilegal, karena kemiskinan membuat mereka tidak terdidik, tertinggal dengan informasi, dan mudah ditipu orang, sehingga rentan mengalami perdagangan orang.

“Tidak hanya di NTT, Jatim juga memiliki kantong-kantong TKI ilegal, diantaranya Malang Selatan, Trenggalek, Pacitan, Tulungagung, Jember, dan Madura,” kata aktivis yang juga dosen itu.

Trans Global

Bentrokan Antar Pemda Renggut Nyawa

Prabowo: Golkar Bermental Uang

Kaum Ibu Madrasah Anak

Namun, bukan berarti orang desa saja yang menjadi TKI ilegal. “Kalau ada orang kota yang menjadi TKI ilegal itu justru karena dia terjebak dengan kehidupan konsumtif,” katanya.

Tentang modus TKI ilegal, ia mengatakan adalah media sosial (medsos), gendam, pemalsuan umur, dan pacaran yang berujung pada pemaksaan menikah, sehingga tidak siap dan akhirnya menjadi TKI ilegal.

“Yang parah dan tidak diantisipasi pemerintah adalah penawaran lewat medsos bahwa ada pekerjaan dengan syarat mudah dan gaji besar, padahal syarat mudah itu justru pemalsuan dokumen yang menjebak,” katanya.

Jebakan lewat medsos itu bisa berupa tawaran pekerjaan di Batam yang semula bekerja di toko tapi targetnya justru “dijual” lewat media sosial dalam sindikat prostitusi online/daring. “Karena itu, cara yang mudah untuk mencegah trafficking adalah jangan pakai dokumen ilegal, jangan mudah terjebak dengan tawaran yang sangat mudah prosesnya, waspadai tawaran lewat medsos dari pihak atau lembaga tidak resmi,” katanya.

Cara mencegah dari diri sendiri itu jauh lebih penting daripada proses hukum, termasuk dengan UU 21/2007, karena proses hukum menyelidiki atau menyidik kasus yang sudah terjadi.

“Kasus trafficking itu terjadi dengan tiga tahap yakni proses (tawaran), cara (rekrutmen), dan tujuan (lokasi dan jenis pekerjaan), namun UU 21/2007 hanya menjerat tahap tujuan yang sudah terjadi atau terbukti secara material, padahal proses dan cara itu mestinya sudah dapat diadili sesuai Konvensi Palemor,” katanya.[Ant/Ats]

Share