Ngenthiiiiiiiit dan Ngathoki Tuyul
TRANSINDONESIA.CO – “Enthiiiitttt sing nandur pari lemu lemu sopo enthiiiitttt, sing nandur aku yo wuk yo pek en kabeh yo wuk yo angger kowe gelem karo aku, aku gemang ….aku mung takon wae kok…”
Penggalan lagu Jawa berjudul “Enthit” bisa menjadi parodi plesetan “ngenthit” atau korupsi, mengambil sesuatu yang bukan haknya dengan cara melawan hukum. Keserakahan dan keinginan yang tak terbendung menjadikan nggrangsang dan penuh dengan ambisi yang menabrak aturan bahkan melalaikan kemanusiaan.
Ngenthit bisa dimaknai dengan mark up, kegiatan fiktif, memangkas sebagian atau seluruhnya dan tidak memberikan atau mengambil hak orang lain.
Lagu “Enthit” yang diplesetkan dengan “ngenthit” dan diikuti wekku kabeh (semua milikku), pimpinan saya ambil alih. Wek ku yo wekku, wekmu yo wekku (milikku jelas menjadi kepunyaanku, kepunyaanmu adalah milikku juga).
Rasa ingin menguasai tanpa otak dan hati menjadikan sesuatu yang memalukan malah dibanggakan. Senang orang susah dan susah orang senang.
Apapun yang dilakukan dianggap benar dan semua wajib mengamini sebagai kebenaran. Bagi yang tidak sepaham akan dihajarnya kalau perlu dimatikan.
Mengapa bisa melakukan ngenthit? Semua itu karena ada kesempatan, lemahnya pengawasan, tingkat kesadaran yang kurang, rasa empati dan moralitas yang rendah. Persetan orang susah, yang penting menang, bisa senang.
Perilaku ngenthit ini perilaku Tuyul, golongan mahkluk halus (berperawakan anak kecil telanjang) yang suka mencuri uang. Tuyul ini takut diberi celana karena akan ketahuan manusia jika ia bercelana.
Membangun sistem online adalah cara-cara ngathoki tuyul sehingga tidak lagi ada kesempatan ngenthit.[CDL-18072016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana