Hernando de Soto dan Sejuta Rumah [1]
TRANSINDONESIA.CO – Siapakah Hernando de Soto? Dia bukan developer, dan tidak sedang datang ke Indonesia ingin masuk menggarap Program Sejuta Rumah yang tengah digiatkan pemerintah.
Program Sejuta Rumah (PSR) itu mengatasi defisit rumah alias backlog yang diperkirakan 13,6 juta unit, malah ada prediksi backlog sudah 15 juta unit. Menurut HUD Institute ada 3 (tiga) problem utama perumahan rakyat: (1) backlog (2) kawasan kumuh (Sanmuh) (3) rumah tidak layak huni (RTLH).Mengatasi itu, pemerintah mengeluarkan jurus pembiayaan “pola 5-4-1” yakni kebijakan FLPP suku bunga menjadi 5%, subsidi uang muka Rp4 juta, dan bantuan uang muka 1%.
Hernando de Soto itu warga negara Peru, pendiri Institute of Liberty and Demogracy di Lima. Soto juga pernah menjabat CEO perusahaan rekayasa terbesar di Eropah, gubernur bank sentral Peru, ahli ekonomi untuk WTO. Majalah The Economist menganugerahi julukan pemikir terpenting kedua di dunia.
De Soto sang penulis buku “The Mystery of Capital” itu pernah datang ke Indonesia dan mengungkapkan pandangannya di depan presidential fórum. Di buku itu saya tertarik dua hal. Misteri kapital dan Misteri Kegagalan Legal.
Di buku itu de Soto menuliskan bahwa “kebanyakan warga negara tidak bisa menggunakan hukum untuk mengkonversi simpanan mereka menjadi kapital”. Simpanan itu termasuk tanah dan gedung yang menganggur tak terintegrasi ke dalam sistem perumahan, sistem perbankan, sistem pembiayaan, sistem properti dan sebagainya.
Sekelebat, penulis merenungi bahwa pada titik ini absolut diperlukan inovasi pembiayaan (innovative financing) yang pro-rakyat, semisal Falisitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi 3 target tersisih: (1) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) informal, (2) MBR formal bergaji dibawah UMR, dan (3) MBR informal tak bergaji tetap (non fixed income).
Dulu juga ada kebijakan pembiayaan kredit triguna ala BTN yang memberdayakan masyarakat, yang bahkan mendapatkan penghargaan PBB.
Tak hanya innovative financing, untuk melegalisasi skim-skim pembiayaan yang pro-rakyat dan pelaksanaan kewajiban konstitusional negara atas hak bertempat tinggal, absolut diperlukan inovasi hukum dan inovasi pemberian jasa hukum.
Penulis sendiri tertarik dengan pemikirannya yang muncul dari pengalaman lapangan soal misteri kapital yang punah nilai. Telaah dan análisis Hernando de Soto perihal misteri kapital relevan memahami komplesitas soal perumahan saat ini. Aset yang dimiliki orang miskin, bak raksasa tidur yang tak tersentuh sistem dan belum terkonversi nilai ekonominya. Apakah itu tanah, lahan rumah, gedung yang bernilai ekonomi, namun kerapkali tidak dapat dikonversi nilainya ke dalam sistem formal perumahan dan pembiayaan.
Padahal, menurut titah Hernando de Soto, pada negara paling miskin sekalipun, orang-orang miskin masih dapat selamat. Mengapa? Jangan terkejut jika menerima penemuan de Soto berikut ini.
Nilai simpanan diantara orang-orang miskin sangat besar, 40 kali lipat bantuan luar negeri yang diterima di seluruh dunia sejak 1945.
Di Mesir, kekayaan yang dikumpulkan dari orang-orang miskin senilai 55 kali lebih besar dari seluruh investasi langsung (foreign direct investment atau FDI) yang pernah ada di sana. Di Haiti, asset total orang miskin lebih besar 150 kali investasi asing yang masuk ke negara tersebut sejak Haiti merdeka tahun 1804.
Bagaimana di Indonesia? Entah-lah. Tetapi masih begitu banyak tanah dan lahan seperti tak bertuan, tak bersurat, tanpa sertifikat, sehingga tak bisa dikonversi menjadi kolateral atau dikelola menjadi aset perumahan.
Jika logika ini dipergunakan lebih berlanjut, aset mati itu tidak bergeliat sebagai “mesin ekonomi” yang menyumbangkan pendapatan yang bia menggerakkan kinerja ekonomi pemiliknya.
Kemiskinan struktural yang menyebabkan banyak warga kota mengalami kendala mendapatkan tempat tinggal dan lahan usaha seperti diungkap Djaka Suhendera, bertitel “Sertifikat Tanah dan Orang Miskin” laporan atas pelaksanaan proyek ajudikasi di Kampung Rawa, Jakarta”, yang diterbitkan HuMa, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta.
Namun, aset yang menganggur (idle) juga melanda Badan Usaha Milik Negara (BUMN maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), bahkan aset negara.
Direktorat jenderal Kekayaan negara (DJKN) kementerian Keuangan mengusul Badan Layanan Umum (BLU) yang bertugas mengoptimalkan asset negara berupa Barang Milik Negara (BMN). Setidaknya, ada 5 ribu hektar tanah dan bangunan di atasnya berstatus idle tersebar di seluruh Indonesia. Sungguh, optimalisasi aset properti belum optimal.
Masih merujuk Hernando de Soto, menurut datanya di Filipina, terdapat 57% penduduk kota dan 67% penduduk pedesaan menempati perumahan yang merupakan kapital mati. Di Peru, 53% penduduk kota dan 81% penduduk pedesaan hidup di perumahan ekstra legal.
Di Indonesia, masih banyak tak berskala kecil di perkotaan. Hasil pembagian warisan sederhana disulap menjadi kapling-kapling kecil yang berukuran tak seberapa. Malah bentuknya tak beraturan. Jurus konsolidasi tanah patut digiatkan untuk kawasan sedemikian.
Tak hanya luas tanah yang mungil dan berbentuk tak beraturan, namun masih banyak yang berada di kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni. Data Indikator Perumahan dan Kesehatan dari BPS tahun 2011, ada 3,4 juta unit rumah tidak layak huni. Selain itu, kawasan kumuh di Indonesia seluas 38.431 hektar.
Mengatasi ihwal perumahan rakyat, Pemerintah membuat kebijakan pembiayaan inovatif yang dimaksudkan memperbesar akses kepada pembiayaan perumahan. Digulirkanlah paket pembiayaan MBR “pola 5-4-1”, yakni bunga FLPP 5%, bantuan DP Rp 4 juta, dan bunga 1%.
Sebelumya, pemerintah melakukan inovasi pembiayaan perumahan rakyat dengan membentuk BUMN pembiayaan sekunder yaitu PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau PT.SMF, suatu badan usaha persero yang dimodali negara mengemban misi dari pemerintah untuk mengalirkan dana dari pasar modal ke penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Tujuannya adalah untuk menambah percepatan volume KPR di Indonesia dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perumahan sehingga terjangkau oleh masyarakat, terutama masyarakat menengah bawah. PT.SMF sebagai lembaga pembiayaan sekunder khusus perumahan berpelat merah yang selama 10 tahun menyuntik dana kepada perbankan yang disalurkan guna membiayai 377.217 debitur, terutama MBR.
Menurut Rahardjo Adisusanto Dirut SMF, tahun 2014 aliran dana SMF untuk pembiayaan perumahan naik 37,69 % dari tahun 2013.
Jika Perum Perumnas didefenisikan buya Mohammad Yusuf Asyari dalam bukunya “Desentralisasi Fungsional dan Teritorial Urusan Perumahan Rakyat di Indonesia” sebagai desentralisasi fungsional provider perumahan rakyat, bisa jadi PT. SMF adalah ijtihat desentralisasi fungsional urusan pembiayaan sekunder perumahan rakyat.
Kembali ke soal de Soto dan kapital mati, untuk PSR perlu digiatkan pelembagaan partisipasi
komunitas dalam ikhtiar instrumentasi dan kapitalisasi aset komunitas untuk perumahan rakyat. Menggerakkan kapital milik warga dan komunitas itu, justru tak kalah penting dari jurus mengembangkan sistem pembiayaan primer maupun pembiayaan sekunder perumahan rakyat.
Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyakat Konstitusi Indonesia, Sekum Housing and Urban Development Institute, Managing Partner Law Office Joni&Tanamas]