Restorasi Gambut Riau Telan Rp11 T

TRANSINDONESIA.CO – Badan Restorasi Gambut RI akan memperbaiki tata kelola lahan gambut yang rusak di Provinsi Riau seluas 933.000 hektare selama lima tahun ke depan, yang membutuhkan biaya mencapai Rp11,196 triliun.

“Estimasi kami membutuhkan lebih Rp12 juta per hektare,” kata Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead pada pencanangan dimulainya restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti, Selasa (12/4/2016).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk BRG awal 2016 dengan misi restorasi lahan gambut seluas 2 juta hektare dalam waktu lima tahun. Tujuan utamanya adalah sebagai bentuk kerja nyata penanggulangan kebakaran lahan yang disebabkan kerusakan ekosistem gambut.

Kebakaran lahan gambut.[Dok]
Kebakaran lahan gambut.[Dok]
Lahan yang direstorasi tersebar di tujuh provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Pada tahun ini, BRG menargetkan restorasi 30 persen dari luasan itu, yaitu 600.000 hektare di empat kabupaten, yakni Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin di Sumatera Selatan, dan Kepulauan Meranti di Riau.

Khusus di Riau, Nazir Foead menyatakan Kepulauan Meranti diminta menjadi prioritas oleh Presiden Jokowi karena punya keunikan dari peran aktif masyarakat setempat untuk merestorasi lahan yang rusak dengan tanaman sagu sebagai komoditi andalannya.

“Skala kebakaran di Meranti tak begitu besar dibandingkan tiga daerah lainnya, tapi dipilih karena Presiden melihat adanya peran serta masyarakat setempat dengan mendayagunakan komoditi sagu. Karena itu, pencanangan kegiatan BRG pertama dilaksanakan di Riau, khususnya Meranti,” katanya.

Meski begitu, ia mengatakan BRG belum memiliki anggaran dari APBN karena usulan dari lembaga tersebut masih dibahas di Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas.

Untuk sementara waktu, ujarnya, program restorasi masih mengandalkan anggaran rehabilitasi lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kemudian dana donasi dari pemerintah Norwegia, dan bantuan Amerika Serikat melalui lembaga USAID.

Sebelumnya, pemerintah Norwegia pada Februari 2016 sepakat mengalokasikan dana hibah sebesar 50 juta dolar AS kepada pemerintah Indonesia untuk program restorasi gambut, sedangkan Amerika Serikat mengucurkan dana sekitar 17 juta dolar AS.

“Anggaran khusus untuk BRG di APBN belum pasti karena masih dihitung dengan Kementerian Keuangan dan Bappenas,” ujarnya.

Ia mengatakan pemerintah berencana untuk mengalihkan anggaran yang biasanya digunakan untuk pemadaman kebakaran lahan ke program restorasi gambut sebagai upaya pencegahan. Dengan kebutuhan biaya yang sangat besar tersebut, Nazir juga berharap peran serta dari pihak perusahaan untuk ikut terlibat.

“Ini bukan kerja yang ringan, jadi ini harus mengetuk hati kawan-kawan di dunia usaha untuk segera melakukan dengan efektif dan akan terus dipantau,” katanya.

Sebagai langkah awal, BRG akan mencoba menginventarisasi lahan yang benar-benar siap untuk direstorasi agar tidak menimbulkan masalah hukum ke depanya. BRG mulai memetakan berapa luas lahan yang ada konsesinya, berapa konsesi yang ada konflik dan harus diselesaikan lebih dulu konfliknya sebelum direstorasi, berapa lahan yg betul-betul milik masyarakat berupa lahan desa, dan berapa lahan masyarakat adat.

“Dari 933.000 di Riau tidak semua bisa langsung direstorasi karena masih ada aspek legalitas lahan yang harus dituntaskan,” katanya.

Upaya BRG akan fokus pada “rewetting” (pembasahan kembali) dan revegetasi (penanaman kembali) di lahan gambut rusak. Menurut dia, caranya dengan tata kelola air berupa memasang sekat di lahan-lahan gambut supaya air yang ditampung di musim hujan tidak mengalir ke tempat lain dan saat kemarau tidak terlalu kering sesuai skala keekonomiannya.

Dengan gambut yang tetap basah, maka risiko kebakaran pun berkurang sehingga lahan bisa ditanami tanaman yang tidak mudah terbakar atau tanaman pangan, misalnya sagu.[Ant/SBR/Ful]

Share