Menimbang Hunian Berimbang [8]: Apa “Hukum Acara’ Pengawasan?
TRANSINDONESIA.CO – Sudah “takdir“ Pemerintah menjalankan peran memenuhi kenbutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU PKP. Apalagi saat ini masih tingginya defisit pasokan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.
Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang untuk meragamkan tipe/kelas persediaan rumah. Hunian Berimbang jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.
Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR. Patut jika Pemerintah memebuat regulasi Hunian Berimbang yang logis, luwes dan dapat mengatrol capaian Program Sejuta Rumah (PSR).
Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).
Tertumpang harap, sumbang pikir ini berguna menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan melanjutkan PSR tahun kedua.
Apa “Hukum Acara” Pengawasan
Siapakah yang mengawasi pelaksanaan dan pengendalian Hunian Berimbang? Dimanakah dilaksanakan Hunian Berimbang? Jelas, pelaksanaan Hunian Berimbang, de facto merupakan kegiatan di daerah kabupaten/kota.
Sebab Hunian Berimbang dikembangkan dengan rezim perizinan instansi pemerintah kabupaten/kota, dibangun untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat lokal kabupaten/kota.
Implikasinya? Andai kata terjadi penyimpangan pelaksanaan Hunian Berimbang, justru pelaporan pelaksanaan Hunian Berimbang mestinya mengikuti prosedur “hukum acara” yang sah.
Pengawasan dan pengendalian Hunian Berimbang dilakukan dengan evaluasi berdasarkan tindakan dan terbit sebagai laporan Bupati/Walikota sebagai tindakan pemerintahan (tindak pangreh/bestuurhandeling). Bukan berdasarkan laporan lembaga swasta atau BUMN, karena pengawasan dan pengendalian adalah perbuatan hukum pemerintahan atau tindak pangreh, bukan perbuatan instansi swasta.
Dasarnya? Mari merujuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 648/3868/SJ tentang Pengawasan atas Pelaksanaan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang, tertanggal 3 Oktober 2010. SE Mendagri Nomor 648/3868/SJ itu ditujukan kepada Gubernur Propinsi seluruh Indonesia.
Isinya? Dalam angka 3 SE Mendagri tersebut ditegaskan agar Gubernur meminta kepada para Bupati/Walikota supaya melaporkan tingkat pencapaian penyelenggaraan Hunian Berimbang secara terukur dan objektif di masing-masing kabupaten/kota sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2012.
Dalam angka 4 ditegaskan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2012 dilakukan masing-masing kabupaten/kota dan hasil penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan Hunian Berimbang secara terukur dan objektif. Hasilnya? Apapun temuan itu, agar dilaporkan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.
Oleh karena itu, prosedur laporan pelaksanaan Hunian Berimbang dilakukan bertingkat mulai dari bawah (lokal) yakni laporan Bupati/Walikota yang ditujukan kepada Gubernur. Selanjutnya Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perumahan Rakyat. Inilah “hukum acara” yang mesti dijalankan ikhwal pelaporan dan pengendalian Hunian Berimbang.
Mengapa demikian? Karena urusan perumahan rakyat secara juridis sudah diserahkan tuntas kepada pemerintah daerah, sebagaimana PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam kasus pelaporan pengembang ikhwal Hunian Berimbang, sudahkah prosedur “hukum acara” itu diikuti? Terbukti tidak. Belum ada Bupati/Walikota membuat laporan pelaksanaan hunian berimbang kepada Gubernur. Apakah sudah ada Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perumahan Rakyat?
Jika belum, bagaimana bisa menyimpulkan terjadi pelanggaran Hunian Berimbang? Bahkan tergopoh membuat laporan pidana Hunian Berimbang. Lagi pula pelaporan Hunian Berimbang adalah urusan Pemerintahan bukan lembaga survey swasta ataupun BUMN. Makin aneh apalagi laporan survey lembaga non pemerintah itu dijadikan dasar pelaporan hukum.
Jika perlu, untuk efektifitas pemerintah kabupaten/kota mesti menyiapkan petugas pengawas perumahan (housing inspector) termasuk ikhwal Hunian Berimbang. Idemditto seperti pengawas ketenagakerjaan (labour inspector) untuk pengawasan ketenagakerjaan.
Ajaibnya, UU PKP tidak mengatur siapa Penyidik dan tidak menunjuk Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS). Sebab Penyidik Polri acap tidak memahami teknis perumahan seperti halnya Hunian Berimbang, maka logis disidik PPNS. Bandingkan UU lain, semisal UU Kesehatan yang eksplisit mengatur Penyidik dan penyidikan dilakukan PPNS dalam kasus tertentu, seperti peredaran obat terlarang.
Tersebab itu, perlu mengoreksi UU PKP. Pun demikian RPP Perumahan dan Kawasan permukiman (PKP), dan materi regulasi turunannya. Jangan sampai salah kaprah dalam prosedur pengawasan, pengendalian bahkan cara pelaporan andai diduga pelanggaran hukum.
Artinya, perlu menyediakan hukum yang fasilitatif. Buatlah norma yang efektif bisa dijalankan. Perkuatlah kelembagaan dan pelembagaan, dan membuka seluas-luasnya partisipasi aktor non pemerintah dalam pembangunan perumahan. Hal ini semestinya dikembangkan dalam RPP PKP yang tengah digarap Pemerintah.
Lagi-lagi, jika diteliti RPP PKP yang mengatur pula Hunian Berimbang hanya dengan 3 pasal. Namun pasal yang disusun hanya duplikasi separo hati, memindahkan (translasi) norma UU PKP secara terbatas dan tidak utuh ke dalam RPP PKP. Bahkan sepanjang Hunian berimbang, norma RPP PKP mengalami defisit makna dan fungsinya untuk mengatur lebih lanjut UU PKP.
Bahkan Pasal 130 ayat (3) RPP PKP mengajukan norma yang berbeda dengan norma UU PKP. Walaupun norma Pasal 130 ayat (3) RPP ikhwal pelaksanaan hunian Berimbang dapat berbeda badan hukum itu, justru lebih luwes dan logis.
Kalau Pasal 130 ayat (3) RPP PKP bisa menyimpangi Pasal 36 ayat (4) UU PKP, mengapa pilih kasih? Mengapa tidak hendak menerobos norma Hunian Berimbang yang tidak satu hamparan harus dalam satu kabupaten/kota?
Bukankah logis, bermanfaat dan adil bagi MBR jika dalam RPP PKP ikhwal Hunian Berimbang tidak satu hamparan dibolehkan pada kabupaten/kota berbatasan, baik dalam satu provinsi ataupun berbeda provinsi.
Kembali ke soal pengawasan pelaksanaan Hunian Berimbang. Mestinya tindakan Pemerintah tidak membuat regulasi yang menciptakan kesimpangsiuran hukum.
Pengabaian asas hukum menjadi musabab pembuatan norma hukum yang tidak valid, walaupun kua-formal diberlakukan. Norma seperti itu seakan-akan mau benar sendiri, yang acap kali lahir dari penyamaran kepentingan, namun tidak memiliki validity.
Norma sedemikian itu menurunkan derjat kewajiban pemerintah, menghambat partisipasi non pemerintah, yang berakibat menghambat akses perumahan rakyat bagi MBR.
Yang Terhormat Bapak Presiden, ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR. Demi visi Nawacita.
Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)