Menimbang Hunian Berimbang [6]: Harga Jual naik 90 Persen

TRANSINDONESIA.CO -Sudah “takdir“ Pemerintah menjalankan peran memenuhi kenbutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP).  Apalagi saat ini masih  tingginya defisit pasokan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.

Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang  untuk  meragamkan tipe/kelas  persediaan rumah. Hunian Berimbang  jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.

Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan  sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR.  Patut jika Pemerintah memebuat regulasi Hunian Berimbang yang logis,  luwes  dan dapat mengatrol capaian  Program Sejuta Rumah (PSR).

Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni,    Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Tertumpang harap agar serangkai esai  bertitel “Menimbang Hunian Berimbang” ini  menjadi  sumbang pikir  bagi Pemerintah yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan melanjutkan PSR tahun kedua.

Ilustrasi
Ilustrasi

Harga Jual Naik 90 Persen

Ihwal hunian berimbang diatur dalam Pasal 34, 35, 36, 37 UU No. 1  Tahun 2011 ( UU PKP).  Skim hunian berimbang  memang ideal dilegalisasi  sebagai  salah satu  strategi  merumahkan kelompok MBR,  dan menurunkan angka backlog  agar  dapat  memenuhi rumah yang layak huni dan terjangkau.

Namun, ketentuan hunian berimbang untuk pembangunan perumahan skala besar yang wajib dalam satu hamparan [vide Pasal 34 ayat (2) UU PKP.  untuk pembangunan rumah dengan hunian berimbang namun Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya “dapat” memberikan insentif kepada badan hukum [vide Pasal 34 ayat (4) UU PKP].

Ditentukan pula pembangunan perumahan dengan hunian berimbang  tidak satu hamparan harus dalam satu daerah kabupaten/kota [vide Pasal 36 ayat (1) UU PKP], dan ajaibnya ada pula aturan bahwa pembangunan perumahan dengan hunian berimbang oleh badan hukum yang sama [vide Pasal 36 ayat (4) UU PKP ].

Dalam ihtiar merumahkan rakyat yang merupakan kewajiban konstitusional Negara dan kewajiban genuine Pemerintah, maka tidak tepat apabila membuat norma UU PKP  yang secara obyektif tidak dapat dijalankan di lapangan.

Apalagi jika tidak efektif  intervensi Pemerintah dan Pemda  memberikan kemudahan dan bantuan yang diwajibkan sebagaimana Pasal 54 ayat (3) UU PKP.

Oleh karena ketentuan hunian berimbang dimaksudkan sebagai strategi dan cara mengatasi backlog dan ihtiar untuk merumahkan rakyat yang diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, maka penormaan ketentuan hunian berimbang tidak semestinya menghambat kewajiban merumahkan rakyat.

Demi konstitusi, ketentuan hunian berimbang mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak satu hamparan jika kondisinya tidak mendukung (seperti penyediaan tanah, mismacth peruntukan lahan dan ruang).

Setakat diskusi “Optimalisasi Hunian Berimbang untuk Program Sejuta Rumah”, di Perum Perumnas, 7 April 2016,  terkuat efek negatif naiknya harga penjualan rumah tapak dalam satu hanmparan di DKI Jakarta sampai 90% jika tanpa intervensi Pemerintah. Tak hanya itu, juga efek penambahan modal usaha pengembang yang membangun rumah vertikal. Diakui, efek negatif itu adalah hambatan mengakses rumah MBR.

Demikian Muhammad Nawir, Direktur Perumnas  mengungkap hasil studinya ikhwal efek Hunian Berimbang. Jika ada intervensi Pemerintah? Tentu bisa mengatasi efek kerugian itu, apalagi tidak  satu hamparan dan harus satu kabupaten/kota.

Karenanya, demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang  mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak satu hamparan dalam satu daerah propinsi.

Demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang  mestinya Pemerintah dan Pemerintah Daerah “wajib” memberikan insentif bahkan kemudahan dan bantuan.   Untuk mengatasi efek negatif melonjaknya harga penjualan rumah.

Demi konstitusi, pembangunan perumahan dengan hunian berimbang  mestinya membuka peluang dilaksanakan tidak badan hukum yang sama.

Mengapa demi konstitusi? Ya, karena amanat konstitusi untuk pemenuhan hak bertempat tinggal, yang diturunkan sebagai hak bermukim merupakan kewajiban Negara.

Sahih apabila Negara menyediakan norma hukum yang membuka lebar-lebar kesempatan berpartisipasi badan hukum atau pengembang yang merupakan nonstate actors  dengan tanpa hambatan normatif  berkiprah dalam membantu Pemerintah merumahkan rakyat, mengurangi backlog dan menyediakan perumahan yang layak huni dan terjangkau.

Saat menguji ayat lantai rumah umum minimal 36 meter persegi, Putusan MK Nomor Nomor 14/PUU-XII/2012 membatalkan Pasal 22 ayat (3) UU No. 1  Tahun 2011.

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat   hak bertempat tinggal sebagai  HAM dan hak konstitusional setiap orang [Pasal 28H ayat (1) UUD 1945], adalah untuk merealisasikan tujuan negara “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia”.

Melarang  membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 meter persegi,  berarti  menutup peluang  masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu.

Dari pertimbangan itu dapat ditarik kaidah jurisprudensi bahwa adanya  norma UU yang menghambat ihtiar merumahkan rakyat  kelompok  MBR adalah inkonstitusional.

Ikhtiar menimbang ulang Hunian Berimbang, lakukanlah dengan memudahkan partisipasi non pemerintah sekaligus memperkuat kewajiban dukungan dan bantuan Pemerintah dan Pemda.  Ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR.

Oleh:  Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)

Share