Menimbang Hunian Berimbang [1]: Degradasi Kewajiban Pemerintah

TRANSINDONESIA.CO – Sudah takdir “Pemerintah” menjalankan peran memenuhi kenbutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu amanat konstitusi dan pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2011 (UU PKP).  Apalagi saat ini masih  tingginya defisit pasikan rumah (backlog) dan mahalnya harga tanah.

Untuk mengatasi itu, konsep Hunian Berimbang dalam UU PKP dinormakan untuk  meragamkan tipe/kelas dan target sasaran  persediaan rumah. Hunian Berimbang merupakan jurus bijak dan cerdas membumikan asas Kebersamaan dan Keragaman (Pasal 2 huruf h UU PKP) yang menjadi modal sosial untuk harmoni pembangunan perumahan.

Tak cuma itu, Hunian Berimbang efektif mengatasi backlog dan menambah pasokan  sedian rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR.  Patut jika Pemerintah mengoptimalkan Hunian Berimbang dengan regulasi yang luwes dan dapat diterapkan dalam Program Sejuta Rumah (PSR).

Ilustrasi
Ilustrasi

Kali ini TRANSINDONESIA.CO menurunkan seri opini Muhammad Joni,   advokat yang juga  Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute. Serangkaian opini bertitel “Menimbang Hunian Berimbang” diharapkan memberi sumbangan bagi Pemerintah yang tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan tengah mengembangkan kebijakan guna melanjutkan PSR tahun kedua.

Degradasi Kewajiban Pemerintah

Keindahan taman terletak pada keragaman kembang dan tanaman hias yang mengisinya. Keragaman bukan beban sosial namun modal sosial yang menciptakan pertemalian  sosial yang saling menguntungkan. Menjadikan panorama kehidupan sosial berwarna indah molek.

Begitu pula maksud asli pengaturan Hunian Berimbang sebagai konsepsi lingkungan  perumahan.

Hunian Berimbang konsep perencanaan pembangunan perumahan yang bagus dan perlu didukung untuk keseimbangan lingkungan sosial dan menyemaikan integrasi sosial.

Hunian Berimbang beranjak dari asas Keserasian dan Keseimbangan yang diatur Pasal 2 huruf h UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan permukiman (“UU PKP”).

Lagi pula,  kua normatif Hunian Berimbang untuk  mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang  (Kebijakan Umum Pembangunan Perumahan huruf b dalam Penjelasan Umum UU PKP).

Yang terpenting,  Hunian Berimbang salah satu skema untuk mengatasi backlog yang sempat diperkirakan mencapai angka 15 juta, sehingga memerlukan terobosan mengatasi kekurangan rumah itu.

Beralasan jika Pemerintah mengoptimalkan  skema  Hunian Berimbang untuk mengatasi backlog. Menjadikannya bagian kebijakan pro MBR dalam Program Sejuta Rumah (PSR) tahun kedua ini.

Mengapa? Sebab, Hunian Berimbang  merupakan  strategi  memperbanyak produksi rumah umum untuk  kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Untuk  memenuhi rumah yang layak huni dan terjangkau.

Tak hanya itu, Hunian Berimbang juga diberlakukan untuk rumah tapak (landed house) dan rumah susun (vertikal) sehingga bantuan dan fasilitasi versi Pasal 54 UU PKP,  juga mesti diakomodir  bagi rumah susun umum bagi MBR yang menjadi bagian PSR.

Jika ditarik ke dalam alam pikiran UU PKP,  konsep Hunian Berimbang dimaksudkan sebagai pelaksanaan Kebijakan Umum Pembangunan Perumahan  sebagaimana  Penjelasan Umum UU PKP.  Dari 5 Kebijakan Umum Pembangunan Perumahan, yang pertama dan utama adalah “Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau….”.

Karena itu, konsep Hunian Berimbang tidak bisa diabaikan sebagai  bagian dari  arah kebijakan untuk “merumahkan” rakyat terutama MBR. Jika merujuk UU PKP, konsep Hunian Berimbang tidak bisa lepas kaitannya dengan  kewajiban Pemerintah  menyediakan kebutuhan rumah bagi MBR.

Jadi, beralasan jika  Hunian Berimbang   diposisikan  dalam konteks  kewajiban memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR yang diamanatkan  Pasal 54 ayat (1) UU PKP.

Dengan logika hukum itu,  tidak tepat jika norma  Hunian Berimbang  dalam UU PKP  mendegradasi  derajat tanggungjawab  dan  kewajiban Negara cq Pemerintah  memenuhi kebutuhan  rumah bagi  MBR.

Maksudnya,  skema Hunian Berimbang dalam UU PKP menormakan  hanya menjadi   kewajiban badan hukum swasta pelaku pembangunan atau aktor non pemerintah.   Padahal Hunian Berimbang itu jurus mengatasi backlog.

Jangan degradasikan kewajiban Pemerintah hanya menjadi “penonton” dalam Hunian Berimbang, dan membiarkan itu seakan  kewajiban orisinil pelaku pembangunan non pemerintah.

Bukankah kewajiban konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 diembankan kepada Negara? Ini saatnya menimbang ulang Hunian Berimbang untuk optimalisasi PSR.

Oleh: Muhammad Joni – Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Share