Okol Mengalahkan Akal
TRANSINDONESIA.CO – Kekerasan sering menjadi pilihan dan jalan pintas untuk menyelesaikan masalah atau konflik. Siapa kuat dia menang, dan yang kuat bisa mengintervensi atau memaksakan walau tidak rasional.
Bener yen ra umum iku salah, salah yen wis umum iku bener. Siapa teriak keras, siapa yang berani nggrudug, siapa yang berani mengancam maka akan menang atau dimenangkan.
Bener yen ra umum iku salah. Walaupun benar jika lemah, dan tidak memiliki daya, bisa disalahkan dan dikalahkan. Kebenaran bisa diabaikan dan berbasis pada pembenaran karena teriakan-teriakan dan mobilisasi massa. Tatkala akal dikalahkan okol maka siapa punya massa, siapa bisa mengintervensi dialah yang benar dan menguasai.
Kaum intelektualpun bisa saja dikalahkan dan bisa juga menggunakan okol untuk akal-akalan. Tatkala akal para kaum intelektuan menjadi akal-akalan maka rasionalisasi akan menguap terbang.
Okol pun merajai penggunaan okol ini tidak ada kaitan dengan kepintaran, status, pangkat, kekayaan dan lainnya karena okol akan lebih pada cara pandang dan suasana kebatinan atau kejiwaan yang terluka maupun tergores.
Nalar tiada lagi menjadi panutan dan cara pintas dengan okol menjadi pilihan. Latar belakang pilihan akal dan okol ini berkaitan dengan sumber daya yang diperebutkan.
Tatkala system-sistem tidak fair dan sarat potensi penyimpangan akan mendorong penggunaan okol menjadi pilihan.
Kekalahan akal oleh okol merupakan sebuah refleksi pemikiran yang cupet, kekerasan atau anarkisme menjadi dominan dan pilihan.
Tatkala kalangan kaum intelektual sudah ketularan dan kecanduan okolisme, ini sebagai cermin keengganan, kemalasan, keterbatasan kemampuan berpikir.
Cara-cara preman merambah ranah intelektual. Hal ini ditunjukan kekerasan dan cara-cara anarkis menjadi solusi, cara pintas menyelesaikan konflik atau masalah. Ini yang berbahaya, tatkala daya kritis berubah menjadi daya anarkis.[CDL-04032016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana