Mengenang Amir Hamzah: “Kopiah Identitas Bangsa”
TRANSINDONESIA.CO – Tulisan ini merupakan reproduksi esay “Kopiah dan Amir Hamzah” yang ditautkan pada laman www.advokatmuhammadjoni.com. Kini, mengenang hari lahir Amir Hamzah, 28 Februari 1911, patut menghargai jasanya sebagai raja penyair, pahlawan nasional yang kental watak nasionalis, dan turut meracik Soempah Pemoeda 1928.
Satu lagi warisan tingginya adalah ikhwal kopiah: identitas bangsa dan penjaga lelaku mulia.
Senyum lebar sumringah Bung Karno sangat menawan dengan seragam militer dan kopiah. Mengapa kopiah? Mengapa menjadi ciri khas Bapak Proklamator Soekarno dalam setelan berpakaian? Seakan atribut kebesaran, kala Bung Karno berkunjung ke luar negeri, kopiah hitam menjadi ciri. Buya Hamka tokoh ulama yang lama tinggal di Medan, pun kopiah hitam tak lekang.
Begitu jua tatkala Presiden SBY mengunjungi Kerajaan Inggris untuk menerima penghargaan “Knight Grand Cross in the Order of the Bath” dari Ratu Elizabeth II di Westminster Abbey, London, 1 Nopember 2012, tak luput mengenakan kopiah hitam.
Tegap dan gagah. Ditiap instansi ataupun sekolah, foto resmi pasangan Presiden dan Wakil Presiden, pasti mengenakan kopiah.
Mafhumkah kita, penggunaan kopiah itu diambil dari kebiasaan Amir Hamzah? Mari kita kembali ke laman sejarah, dalam setting tahun 1920-an.
Kala itu Amir Hamzah aktif dalam kegiatan kebangsaan, berkumpul bersama tokoh-tokoh pergerakan. Kemanapun dia pergi, kopiah alias songkok itu melekat di kepala Kubusu, panggilan manja Amir Hamzah saat di Tanjungpura, Langkat, di mana Kubusu dibesarkan.
Dengan stelan kopiah, Amir Hamzah mudah dikenali diantara pelajar dan pemuda, sebab hanya Amir yang menggunakan kopiah. Kebanyakan menggunakan blangkon atau penutup kepala lain, atau tanpa penutup kepala sama sekali.
Suatu saat, diadakan pertemuan persiapan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Amir Hamzah sebagai anggota panitia, dan sebab itu pula Kubusu kerap bertemu tokoh-tokoh pergerakan.
Saat pertemuan dipimpin Bung Karno, membayangkan tatkala Indonesia merdeka pada suatu ketika, kita sudah punya pakaian kebangsaan sebagai identitas bangsa, termasuk jenis dan setelan pakaian.
Debat panjang dan ramai soal pakaian. Karena banyak usulan serta sanggahan, maka pakaian nasional sampai saat itu ikut pakaian barat menggenakan jas dan berdasi. Soal penutup kepala justru didapati kesepakatan.
Sewaktu pertemuan tokoh pergerakan, Bung Karno yang memimpin pertemuan sambil menunjuk ke tempat duduk Amir Hamzah menyatakan bahwa penutup kepala yang dipakai Tengku (panggilan akrab Bung Karno kepada Amir Hamzah) sangat bagus dan cocok sebagai penutup kepala identitas nasional.
Pilihan Bung Karno itu diamini peserta pertemuan. Sejak itu, kopiah warna hitam dikenakan Bung Karno, layaknya simbol kebangsaan. Kala mengenalkan lagu Indonesia Raya, saat Kongres Pemuda 1928, WR Supratman pun mengenakan kopiah hitam. Pun demikian banyak peserta Kongres Pemuda 1928. Kopiah sudah menjadi identitas bangsa. Sekaligus identitas pemuda.
Faktu sejarah itu dituliskan Djohar Arifin Husin yang menorehkan sejarah Amir Hamzah dalam bukunya bertitel “Tengku Amir Hamzah – Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat”, 2011.
Buku terbitan tahun 2011 itu, persis memperingati satu abad Amir Hamzah yang lahir tahun 1911 di Kampung Dalam, Tanjungpura dari pasangan Tengku Muhammad Adil (Pangeran Kepala Luhak Langka Hulu) dan Tengku Mahjiwa, keturunan bangsawan dari Stabat.
“Sungguh dahsyat jasa Tengku Amir Hamzah untuk bangsa Indonesia dan Langkat khususnya, mengangkat songkok Langkat menjadi perlengkapan resmi pakaian nasional”, tulis Djohar Arifin, putra Langkat, doktor dan guru besar perencanaan kota dan wilayah lulusan Universiti Malaya, yang pernah menjabat Ketua Umum PSSI.
Kopiah Menjaga Lelaku
Di Langkat, tanah kelahiran Amir Hamzah dan Djohar Arifin, kopiah memang populer dan merakyat. Digunakan penutup kepala kaum lelaki, seperti blankon di Jawa, atau pengikat kepala di banten. Tak hanya dipakai pergi ke masjid, sholat Jumat atau mengaji.
“Setiap lelaki sudah baligh di Langkat apakah remaja apalagi pemuda dan orangtua tentu akan memakai songkok”, tulis mantan Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husein.
Tak pelak lagi, penulis membayangkan tatkala Amir Hamzah mengenakan kopiah saat mengaji fikih dan tauhid di maktab “putih” yang megah terletak di kawasan belakang Masid Azizi nan indah (1902).
Kebiasaan mengenakan kopiah itu tetap dilakoni Kubusu saat merantau sekoah di pulau Jawa. Amir Hamzah yang mengenyam pendidikan Hollandsch Inlandsche School (HIS), dan menggenapi pendidikan dalam ihwal keagamaan di maktab “putih” itu, seperti dituliskan novelis NH. Dini dalam bukunya “Amir hamzah Pangeran dari Seberang”, Jakarta, 2011.
Penulis tak mampu menahan diri mengenang, kala siang hari usai jadwal bersekolah umum di SMP 1, bersepeda pergi mengaji kitab kuning gundul saat sempat menjadi siswa Tsanawiyah Jamaiyah Mahmudiyah Lithalabil Khairiah, yang tak lain maktab “putih” itu tadi.
Kembali ke hal ihwal kopiah. Langkat yang beresamkan budaya Melayu, memang kawasan yang ternama dan terbuka sehingga percampuran budaya dan kebiasaan bukan hal mengherankan. Termasuk itu pula sebab musabab mengapa kopiah juga banyak ditemukan di negara-negara tetangga. Menurut sebuah sumber, kopiah atau peci konon berasal dari bahasa Belanda yakni pet (topi) dan je (kecil).
Diperkirakan peci ini dibawa oleh para pedagang Arab ke semenanjung Malaysia pada abad ke-13. Jangan pula heran andai penggunaan tutup kepala kopiah atau peci itu tak hanya membudaya di Indonesia, tetapi juga Brunei, Malaysia, Singapore, serta beberapa wilayah di Filipina dan Thailand.
Dalam facebook Ottoman History Archives, saya menengok tutup kepala sebentuk dengan kopiah pada dua serdadu Ottoman Soldiers, 1890s. Pun demikian pada Ottoman Officer, dan anak-anak remajanya.
Di Malaysia, selain setelan baju teluk belanga juga mengenakan kopiah. Teluk belanga juga menjadi pakaian anak-anak sekolah di Batam setiap Jumat dan (mungkin juga Sabtu).
Saat mengunjungi Batam beberapa tahun silam, seorang pemuda pegawai Dinas Pariwisata Kota Batam yang menjemput saya dari Bandara Hang Nadim mengenakan telok belanga warna biru muda dan kopiah hitam. Indah dan gagah.
Dulu, saat Walikota Medan abah Bakhtiar Jakfar, pakaian dinas hari Jumat juga mengenakan teluk belanga dan kopiah. Mungkin senior saya Syarifuddin Siba, tokoh pemuda dan dosen Fakultas Hukum USU, bisa banyak bercerita soal ini. Entah mengapa Langkat belum mengenakanya? Bukankah kopiah (dan teluk belanga) sumbangan Langkat kepada identitas bangsa?
Terimakasih kepada Amir Hamzah yang menginspirasi Bung Karno memilih kopiah. Mungkin filosofi kopiah sebagai tanda mengingat dan menyukuri anugerah Tuhan atas kepala yang membungkus perkakas otak sebagai kekuatan pikiran manusia.
Menurut perasan batin saya, kopiah sebagai alat pengingat bagi Kubusu agar menjaga kalbu dan tingkah laku serta penuh cinta pada sesama. “Membunga cinta dalam hatiku. Mewangi sari dalam jantungku”, salah satu bait syair Amir.
Bahkan Kubusu tak cuma menutup kepala, bahkan menyuntingkannya dengan bunga, seperti syair dalam bahasa batinnya. “Tinggallah tuan, tinggallah bunda. Tanah airku Sumatera Raya. Anakda berangkat ke pulau jawa. Memungut bunga suntingan kepala”.
Amir Hamzah yang lahir 28 Februari 1911 di Tanjungpura, meninggal konon terikat revolusi sosial tahun 1946 di Sumatera Timur yang tak tuntas terungkap. Raganya ditemukan di daerah Kuala Begumit, tak jauh dari Stabat, Langkat.
Melawan lupa, patut ikhwal itu diteliti dengan norma dan konvensi akankah itu sebagai kejahatan berat terhadap kemanusiaan? Kepada khalayak, tertoreh warisan syair penanda pedih hatinya kepada sang hidup: “Bunda, waktu tuan melahirkan beta/Pada subuh embang cempaka/Adalah ibu menaruh sangka/Bahwa begini peminta anakda”
Turut berdoa dan menuturkan Al Fatiha untuk raja penyair dan pahlawan nasional T.Amir Hamzah.
Oleh: Muhammad Joni [Advokat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) – Putra Tanjungpura, Langkat]