Yang Tersisa di Pengukuhan Rektor USU [Bagian 2]

TRANSINDONESIA.CO – Ini bukan laporan pandangan mata sidang pembacaan putusan perkara korupsi pejabat Sumatera Utara (Sumut) yang berseragam batik hadir ‘kompak’ dengan istri muda ‘mengumbar mesra’ dihadapan meja hijau dan diujung palu hakim.

Ini kisah tersisa dari prosesi pengukuhan jabatan guru besar tetap Universitas Sumatera Utara (USU) Prof.Dr.Hasim Purba,SH,M.Hum, yang berpidato tentang keselamatan penerbangan sipil melalui penerapan savety culture, di Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, pada Sabtu 15 Februari 2016 lalu.

Dari pesawat ke becak

Selesai sudah urusan pidato pesawat terbang dan “savety cuture”, sempurna dengan foto bersama. Pengunjung beranjang puang. Ternyata belum.  Lepas dari mulut gerbang Gelanggang Mahasiswa kampus USU, Hasim Purba dihadang  sejumlah mahasiswa.

Prof.Dr.Hasim Purba, SH,M.Hum, usai pengukuhan guru besar diarak dengan Becak Medan dari Gelanggang Mahasiswa Kampus USU ke rumah dinas.[Mj1]
Prof.Dr.Hasim Purba, SH,M.Hum, usai pengukuhan guru besar diarak dengan Becak Medan dari Gelanggang Mahasiswa Kampus USU ke rumah dinas.[Mj1]
“Ada apa dik”, tanyanya singkat.

Rupanya mahasiswa-mahasiwa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FH USU itu sudah menyiapkan acara kejutan.

“Kami sudah pesan becak dari simpang kampus untuk mengarak  bang Hasim”,  kata seorang mahasiswa yang mengaku menyewa setengah lusin becak dayung dihiasi alakadarnya. “Becak yang savety, bang” gurau mahasiwi yang lain.

Profesor rendah hati itu hanya menuruti saja.  Hasim Purba dan istrinya Yunita Sari Hasibuan  tak kuasa menolak kejutan diarak naik becak berhias  dari gelanggang mahasiswa ke rumah dinas di kawasan  kampus USU.  Kejutan  sederhana yang mengesankan watak merakyat sang dosen sengaja  disiapkan untuk dosen  kelahiran Parbutaran, Simalungun, 3 Maret 1966 itu.

“Ini seperti mengarak calon pimpinan kepala daerah saja”, komentar Horadin Saragih, sejawat Hasim Purba yang mengaku pernah  indekos satu kamar di Jalan Dipanagara, Padang Bulan, Medan.  Kini Horadin Saragih dipercaya menjabat Hakim Agung Ad Hoc di Mahkamah Agung.

Seperempat jam kemudian Hasim Purba dan rombongan tiba di rumah dinas yang baru saja ditempati.  Banyak terpacak karangan bunga papan ucapan selamat.  Tenda sudah tegak terpasang mengambil  separo jalan.

Acara selamatan dan makan siang dimuai. Di sana banyak dosen pengajar FH USU dan dari instansi pemerintah yang hadir, termasuk Nurdin Lubis alumni FH USU mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumatera Utara.

Sejawat Hasim Purba dosen FH USU paling banyak terlihat. Dosen yang masih aktif tampak hadir Prof. Tan Kamelo, Prof. Sunarmi, Dr. Eddy Ikhsan, Dr.Sutiarnoto, Dr.Khairul Bariah, Dr. Abdul Rahman Melayu,  Zukifli Sembiring, Sinta Uli Pulungan.

Hadir pula Prof.Sanwani Nasution, ibu RR. Sukmadiyah Hasnil, Mansyurdin pengajar sosiologi yang mantan pimpinan FH USU. Prof. Sanwani Nasution yang mantan Dekan FH USU dikenal sosok berwajah teduh, simpatik, namun berwibawa melekat pada pakar hukum internasional publik itu.

Suasana akrab dan meriah terekam dalam ‘reuni mini’ antara mantan mahasiswa dan dosen serta alumni FH USU.

“Saya memasuki FH USU tahun 1985, senang bertemu dosen yang 31 tahun lalu mengajarkan ‘ABC’-nya ilmu hukum”,  kata Muhammad Joni setakat duduk semeja dengan Sinta Uli Pulungan.

Kak Sinta, begitu biasa beliau dipanggil sejawatnya, termasuk dosen yang memberikan sentuhan pertama kepada mahasiswa.

Sinta Uli Pulungan sejak lebih 31 tahun lalu mengajar ilmu paing mendasar Pengantar Ilmu Hukum Umum (PIHU) grup B.1.  Semasa kuliah tahun pertama, angkatan 1985 berjumlah  200-an mahasiswa yang dibagi 4 group:  A.1, A.2, B.1, B.2.

“Dulu, kak Sinta Uli Pulungan bukan hanya mengajarkan ABC-nya hukum, dan membebaskan kami dari buta huruf ilmu hukum, malah kami mendapatkan bonus semangat dari gestur, sikap dan bahasa tubuhnya yang menularkan aura simpatik. Karenanya kami bahagia menjadi mahasiswa hukum dan menyukai seluk beluk ilmu hukum”, urai  Muhammad Joni yang bersama-sama Sujono, Marasamin Ritonga, Hendrik Napitupulu, Horadin Saragih, dan Komis Simanjuntak melepas cerita kangen di laman rumah dinas Profesor Hasim Purba.

Joni melanjutkan, “Ketika kita  ‘buta huruf’ ilmu hukum, dan belum begitu  hafal lekak lekuk kampus FH USU  yang jangkung megah,  eksotik  dan berarsitektur Eropah klasik yang ‘sangat hukum’,   kak Sinta Uli Pulungan berhasil membenihkan minat  yang meluap-luap  mempelajari ilmu hukum, padahal  hukum  acap dianggap  orang sebagai  kaku, vulgar, keras,  konservatif dan klasik”.  Sinta hanya tersenyum, dari mulutnya hanya berucap,  “mereka mahasiswa yang simpatik”.

Menurut  pengakuan Joni,  Sinta Uli Puungan dosen tingkat pertama yang mengajarkan ABC-nya hukum paling awal dan paling mendasar.  “Beliau  seorang dosen yang mengajar  menebar aura bahagia, dan membuat mahasiswa tak gentar menghadapi kesan hukum yang acap kaku, vugar, keras”, tutur Joni lagi seperti bersemangat memuji sang guru.

Kepada TransIndonesia.co,  Muhammad Joni mengaku punya alasan sahih memuji dosen.  Katanya, “Ilmu menjadi  berkah  harus   didahului dengan  memuji sang guru”. Mengapa?  “Tidak  elok hanya  mengkapitalisasi  ilmu hukum menjadi produk  hukum yang dibayar mahal, walaupun  dengan jujur mengutip tiori pendapatnya sebagai etika  akademis,  namun  demi mencari keberkahan mestilah memuji  etos dedikasi sang guru”.

“Itu cara  saya menghargai ilmu yang  berkah,  karena dengan ilmu hukum itu sudah membuat saya dan keluarga sejahtera”, jelas Muhammad Joni yang memimpin  Law Office Joni & Tanamas, di Menteng, Jakarta.[Mj1]

Share