Perkawinan Wisata Musiman di Mesir

TRANSINDONESIA.CO – Perkawinan wisata atau perkawinan musiman dan juga dikenal dengan perkawinan singkat antara turis asing dengan wanita Mesir, kini menjadi perbincangan hangat di Mesir.

Para aktivis pembela hak-hak perempuan menentang pemberlakuan hukum baru , dimana seorang pria asing yang ingin menikah dengan wanita Mesir diharuskan mendepositokan uang atas nama calon istri sebesar 50ribu Pound Mesir atau setara dengan US $ 6.383 pada Bank Nasional di Mesir.

Perkawinan wisata ini , menjadi populer dikalangan turis asing yang ingin menikah singkat dengan wanita Mesir. Umumnya perkawinan akan bubar atau bercerai diakhir liburan.

Kelompok Aktivis perempuan melihat fenomena ini sebagai pelacuran terselubung atau perdagangan manusia hanya untuk memfasilitasi hasrat seksual para wisatawan.

Nihad Abdulqasim, seorang aktivis perempuan  melihat perkembangan hukum ini tak lebih dari suatu kerusakan baru.

Wisata di Mesir.(Fen)
Wisata di Mesir.(Fen)

“Undang undang lama tahun 1976 kemudian dirubah pada tahun 1993 tidak ada perbedaannya , disana hanya merubah jumlah uang jaminan untuk calon istri yang awalnya berjumlah 25ribu Pound Mesir menjadi 40ribu pound ,kemudian ditahun 2014 dirubah lagi menjadi 50ribu Pound,” ujar Nihad.

“Orang asing hanya menandatangani kontrak pernikahan untuk menghindari masalah hukum , padahal praktek ini sesungguhnya adalah bentuk perdagangan orang untuk dijadikan budak sek. Dalam banyak kasus kadang kadang seorang wanita dapat menikah dua sampai tiga kali dalam waktu tak lebih dari sebulan,” tambahnya.

Menurut para aktivis HAM, fenomena perkawinan wisata ini dihilangkan saja, jangan hanya melihat jumlah uang yang dihasilkan tetapi lebih kepada dampak negatif yang ditimbulkan.

Abdel Hamid Zeid, wakil ketua Sosiolog Syndicate, mengatakan bahwa, “Jika hukum tersebut tidak dicabut negara telah gagal melindungi rakyatnya , alih-alih mencari penyebab merebaknya fenomena perkawinan wisata ini , negara justru menjadi pelopor perdagangan manusia,” .

Zeid menambahkan, “Seharusnya negara meningkatkan standar hidup, sehingga rakyatnya tidak menjadi mangsa dari perdagangan manusia dan negara tidak boleh menjadikan perempuan sebagai komoditas.”.(fen/Aa)

Share