TRANSINDONESIA.CO – “Tatkala orang Jepang menembak kepala, orang Indonesia terheran-heran bahkan hampir pingsan karena tidak mati. Tatkala ada yang salah nembak dan kena dengkulnya malah mati. Setelah diotopsi ternyata otaknya di dengkul”.
Anekdot sarkas diatas menganalogikan bahwa siapa sih yang berpikir sebenarnya? Semestinya kepala tempat otak yang berpikir namun faktanya sering kali yang kita dapati para pemikirnya justru pelaksananya.
Kepala-kepala bukan kreator melainkan korektor. Pendelegasian berpikir ini bertingkat-tingkat dan sering tanpa petunjuk hanya perintah-perintah.
“Cukupi, selesaikan, sesuaikan petunjuk kepala, khabar (laporkan kalau sudah selesai). Kepala memerintahkan bahu, bahu memerintahkan tangan, tangan memerintahkan dengkul. Dengkul bingung ia tidak mungkin lagi memerintahkan kebawah-bawahnya lagi. Dengan terpaksa dengkul mulai berpikir dan meraba raba apa ya solusinya”.
Tatkala produk dengkul selesai dan kepala mulai mengoreksi dan menyalahkan,”masa seperti ini hasilnya”.
Demikian dibawahnya marah-marah kebawahanya dan akhirnya dengkul harus mengernyitkan kulitnya untuk memikirkan kemarahan-kemarahan dan bukan arahan.
Memang kepala kadang-kadang tidak adil, sibuk dengan acara seremonial, dan kegiatan-kegiatan penuh dengan make-up dan kesibukan-kesibukan yang sebenarnya hanya memamerkan bahwa kepala itu disini senang – disana senang.
Apakah posisi menjadi kepala disemua lini menyebabkan lali jiwo atau lupa dan hilang pemikirannya?
Bisa jadi begitu. Tatkala menjabat mulailah jurus telunjuk dan jurus ngamuk diterapkan. Gaya-gaya feodal menjadi kebanggaan dan pamer bahwa dirinya tidak perlu berpikir semua beres.
Hasrat berkuasanya begitu besar, begitu luas bahkan lupa dengkulnya sudah mulai gemetaran dan keropos karena keberatan beban.
Nasib dengkul memang mengenaskan, dilarang sakit, dilarang protes, wajib sehat kuat dan penuh energi walau tanpa gizi.(CDL-Jkt301015)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana