TRANSINDONESIA.CO – Ngarit dalam konteks ini dijadikan analogi dari berbagai kegiatan mencari pesugihan atau kaya secara cepat dan mendadak dengan cara-cara keliru, kecurangan dan penuh tipu daya.
Pengaritan menjadi habitus yang terus bergulir dan menjadi core value bahkan pameran-pameran yang diunggul-unggulkan baik dalam perbincangan warung kopi sampai dengan diskusi-diskusi tingkat tinggi.
Apa yang dibicarakan kepentingan, uang, materi, dan berbagai previlage lainnya. Memuja kegiatan ngarit ini mengabaikan kemanusiaan bahkan bisa mematikannya.
Ngarit dengan legal formal akan menjadi pembenaran yang keliru, bisa jadi menyalahkan yang baik dan benar.
Hubungan-hubungan dalam pengaritan ini diberlakukan hukum rimba siapa berani akan disengsarakan bahkan bisa dimatikan hidup dan penghidupannya.
Ngarit menjadi jalan hidup dan keutamaan dalam hidup dan kehidupannya. Penuh dengan kepura-puraan, tipu daya, dan saling mencurigai satu sama lain.
Penanaman konflik satu sama lain akan terus tertanamkan baik dengan cara langsung atau melalui media.
Ngarit ini menjadi ikon KKN dan ikon kesengsaraan. Pada semua level akan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pada kekuasaan, penguasaan, pendominasian atas sumber-sumber daya dan pendistribusianya.
Otak dan hati nurani akan digerakan pada ototnya untuk menguasai dan mendominasi sumber daya. Segala cara dihalalkan dan bahkan merelakan harkat dan martabatnya sebagai manusiapun rela ia jual.
Karakter menjadi tabiat, kemanusiaan diabaikan dan kekuasaan serta penguasaan didewakan. (CDL-Jkt291015)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana