TRANSINDONESIA.CO – Demokrasi tak jarang dimaknai hanya sebagai kebebasan, namun lupa akan tangggung jawab kepada teman, lingkungan, sesama dan system-sistem kehidupan lainya.
Setiap masalah yang dianggapnya penting oleh satu atau dua kelompok serta merta melabel atas nama rakyat. Anehnya lagi penyampaian solusi/ide/gagasan dengan berteriak-teriak, memaksakan, kadang dihiasi anarkisme.
Melakukan demonstrasi ke jalan dengan masa yang cukup besar, mengkacaukan jalan menutup arus lalu lintas ,melantunkan kata-kata yang mencerminkan ketololan dan ketidak mampuan berdiplomasi. Teriakan, hujatan menjadi unggulan dan kebanggaan.
Menggunakan masa ke jalan, menghalangi jalan, memancing dan melakukan bentrokan dengan aparat menjadi nilai tambahnya. Mobil komando yang dibanggakan dengan speaker besar ke semua penjuru diteriakan.
Sakitkah bangsa ini? Setiap momentum dijadikan ajang demonstrasi. Ada juga yang minta bayaran dan demonstrasi menjadi lahan pekerjaan. Menarik iuran, sweeping, mengancam, merusak dan berbagai tindakan kontra produktif dilancarkan. Gaya-gaya militeristik dipamerkan dengan seragam militer wagu (wagu design, wagu warga dan wagu yang memakainya).
Inikah demokrasi di zaman gila sebagai demo atas crazy (tontonan ketololan anak bangsa). Kaum intelektual dan terpelajar, LSM dan tokoh-tokohpun tak jarang terpancing unjuk gigi di jalan supaya dianggap bercivil society.
Semoga di Hari Kebangkitan Nasional ini kita sadar bangkit dari ketololan-ketololannya dan sadar dari kegilaan-gilaannya sehingga benar-benar mampu berdemokrasi bukan lagi berdemocrazy. (CDL-Jkt210515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana