TRANSINDONESIA.CO – Meminum teh biasanya kita lakukan glenggang-glenggeng (langsung tenggak) saja sebatas pelepas dahaga. Meminumnyapun sembarangan yang penting banyak dan bisa melepaskan rasa dahaga cukuplah.
Di negeri Sakura Jepang ada tradisi minum teh “chanoyu” dengan berbagai proses ritual dengan perlengkapan-perlengkapan yang cukup rumit.
Apresiasi terhadap teh ini sangat luar biasa, bahkan gelas yang pernah digunakan Kaisar Jepang dalam acara chanoyu dihargai 2 sampai 3 juta Yen.
“Apresiasi terhadap teh hasil penemuan manusia sebagai sebuah karya cipta dan karsa”
Kita sering melihat pelayanan-pelayanan kesehatan, kemanusiaan dan pelayanan kepada publik yang berantakan dan memuakan malah dijadikan ajang pemalakan dan banyaknya calo preman dan berbagai biro jasa yang sebenarnya tidak perlu.
Malu rasa hati membandingkan dengan minum teh yang diapresiasi dan menjadi suatu karya seni bercita rasa tinggi. Mengapa pelayanan-pelayanan kemanusiaan dan publik tidak dijadikan sebagai bagian apresiasi akan manusia?
mungkin karena nilai-nilai ygan dihayati adalah mengumpulkan uang dari kesusahan orang lain. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, atau mungkin inilah cara yang dibanggakan dan dipujanya, sehingga tak peduli orang susah karenanya.
Benarkah syair lagu Bento untuk yang dirasakan dimasa kini? “…persetan orang susah karena aki, yang penting senang, yang penting menang, sebut namaku 3x Bento, Bento … Bento…,”.
Kalau benar habislah harapan seni diapresiasi. Semua akan instan dan semua akan hanya adu kekuatan dan hati nurani dengan perlahan namun pasti untuk dimatikan. (CDL-Jkt150515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana