TRANSINDONESIA.CO – Lima lagu etnik Gayo dari Nanggroe Aceh Darussalam mengisi Gelar Budaya di Tugu Air Mancur, Jalan Putri Hijau, Medan, Sumatera Utara, Kamis (5/3/2015) petang. Aksi Serikat Boemi Poetera menuntut proteksi pemerintah terhadap kebudayaan negeri sendiri merupakan aksi lanjutan.
“Kali ini kita menampilkan kebudayaan Gayo, etnik asli Boemi Poetera dari dataran tinggi Provinsi Aceh. Ke depan, kita akan tampilkan kebudayaan etnik Karo, Batak, Melayu, Jawa dan lain-lainnya, untuk menggugah rasa kebangsaan pejabat-pejabat pemerintahan,” ujar Koordinator Aksi Serikat Boemi Poetera, Indra Gunawan, kepada wartawan di sela-sela kegiatan.
Lagu-lagu etnik Gayo –beriring musik akustik yang apik dimainkan kelompok mahasiswa Gayo– itu seluruhnya bermuatan pesan moral. Antara lain tentang bagaimana hubungan antarumat manusia dan bagaimana semestinya manusia memperlakukan alam sekitar.
Selain memperkenalkan kebudayaan Gayo, aksi Serikat Boemi Poetera juga diisi orasi tunggal Tengku Zainuddin. Aktivis, peneliti sekaligus pegiat budaya ini menekankan absennya pemerintah dalam upaya perlindungan dan pelestarian budaya negeri sendiri.
“Kemana Gubernur dan Wakil Gubernur kita? Mereka selalu menggunakan atribut budaya Melayu, namun membiarkan nilai-nilai kebudayaan di negeri ini terus tergerus, ditindas oleh kebudayaan baru yang didesain non-bumi putra,” tukasnya.
Di daerah pesisir, lanjut dia, beberapa kebudayaan asli bumi putra musnah seiring pembabatan hutan mangrove. Sedangkan di perkotaan seperti Medan, proses kapitalisasi telah melenyapkan ornamen-ornamen yang mencirikan kebudayaan khas masyarakat setempat.
“Boemi Poetera mesti bangkit melawan keadaan. Sulit mengukur nilai nominal kerugian yang diderita bangsa ini akibat tertindas dan hilangnya kebudayaan. Mengapa sulit? Karena nilainya tak terhingga,” tambahnya.
Terpisah, Sekretaris Nasional (Seknas) Serikat Zboemi Poetera, Ir. Abdullah Rasyid, ME mengatakan hilangnya kebudayaan berarti hilangnya kedaulatan.
“Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang diberikan negara berdasar konstitusi. Kehilangan kebudayaan tentu mengancam pula kekuasaan. Boemi Poetera berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat dan tentu juga menjadi kedaulatan negara,” tegasnya.
Penegasan Rasyid itu memperkuat esensi gerakan yang dibangun Serikat Boemi Poetera. Menurutnya, kehidupan kaum bumi putra kini kian tertindas akibat kedaulatan yang tergerus.
“Tergerusnya kedaulatan merupakan akibat hilangnya secara perlahan nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan nenek moyang kita. Harusnya kita sadari bahwa saat ini undang-undang dasar tak lagi memproteksi hak-hak khusus bumi putra. Klausul dalam UUD ’45 yang memproteksi hak-hak khusus bumi putra telah diamandemen,” pungkasnya.(don)