TRANSINDONESIA.CO – Edan dalam kewarasan nampaknya sehat namun, sebenarnya gila yang disebabkan mental yang sakit. Mental yang sehat menjadikan badan kuat, terhormat dan harga bermartabat.
Mental memang tidak nampak secara kasat mata tapi dapat dirasakan dan dilihat dari sikap perilaku dan dari kinerja seseorang. Mental yang demikian dapat dipahami sebagai bentuk dorongan dari dalam diri untuk menggerakan tubuh melakukan sesuatu yang telah terpola dan menjadi kebiasaan.
Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dianggap hal yang wajar bahkan benar walaupun menyimpang atau saalah dan bertentangan dengan sebagaimana yang seharusnnya.
Bagaimana dengan mental pekerja dalam sebuah institusi aataupun mental bangsa? Pada prinsipnya sama. Institusi atau bangsa yang mentalnya sehat maka, akan kuat terhormat dan bermartabat.
Mental-mental para pekerja dalam institusi atau dalam suatu bangsa terlihat pada pelayanan publik. Kebiasaan dalam pelayanan publik tersebut apakah baik/ buruk, hal itu mencerminkan mentalnya.
Dalam pelayanan publik yang baik dan memberikan pelayanan prima, maka mentalnya dapat dikatakan sehat dan baik. Tidak diragukan maka, institusi itu akan sehat, terhormat dan bermartabat.
Karena mampu menunjukan pelayanan prima yang berarti petugas-petugas dan sistemnya adalah pendukung dari institusi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern.
Demikian sebaliknya jika pelayananya asal-asalan, dan penuh diskriminasi (ada perbedaan yang memberikan uang pelicin atau membayar lebih akan diberi fasilitas yang lebih baik) walaupun yang dinyatakan baik tidak jauh dari yang sebagaimana sehrsnya.
Mental yang tidak sehat akan membuat badan sakit, jiwa sesat dan akan dihujat dan ini kebiasaannya adalah :
- Mengambil sesuatu yang bukan miliknya
- Merusak fasilitas yang ada
- Mempermainkan (mempersulit)
- Mencari peluang dan kesempaatan untk memeras atau mengambil pungutan-pungutan yang tidak resmi (melalui peraturan atau melalui tindakan-tindakan langsung)
- Membangun jejaring dan klik-klik sebagai dinasti kekuasaan dan penguasaan birokraasi
- Melakukan monopoli
- Mendiskriminasi
- Tidak fair
- Mempunyaai niat jahat (tidak tulus)
- Menjerumuskan
- Membangun jabatan-jabatan atau posisi strategis yang dianggap basah, dan lainnya.
Dari penyakit-penyakit mental diatas awalnya, UUD (ujung-ujungnya duit) namun, kalau dibiarkan akan menjadi suatu kebiasaan yang membuat jiwa sesat dan dihujat. Tentu saja tidak terhormat karena perilaku pelayanan kepada publik tidak prima.
Sakit mental ini sudah menjalaar bahkan menembus ke semua syaraf kehidupan. Walaupun sakit dianggapnya waras.
Menyehatkan mental bukan perkara mudah, ini bagaikan menyembuhkan gila yang terwariskan dan hampir membatu dalam otak dan hatinurani.
Proses penyehatannya memang membutuhkan proses panjang dan memerlukan keberanian dan niat dari para pemimpin.
Dalam hal ini political will nya benar menyatakan dan menginginkan sehat atau menggelorakan untuk sehat. Itu yang terpenting, sebagai dasarnya. Selama komitmen moralnya tidak ada berarti, memang masih senang bermain-main sebagai orang edan dalam sebuah kewarasan.
Menyehatkan mental setelah dimulaai dari komitmen moral yang dinyatakan dalam political will maka langkah-langkah berikutnya adalah :
- Sistem edukasi untuk penydaran dan menyadarkan atau membangun dengan penuh kesadaran. Sebagai bgian dasar membangun karakter sumber daya manusia dan menyiapkan pemimpin-pemimpin di semua lini untuk mebjadi ikon perubahan.
- Membangun sistem-sistem yang mampu meminimalisir atau memangkas kemungkinan-kemungkinan atau potensi terjadinya penyimpangan dalam berbagai pelayanan publik, penggunaan anggran di semua lini. Untk membangun pelayanan prima dan birokrasi yang profesionl, cerdas, bermorl dan modern.
- Membangun sistem penegkkan hukum yang adil dan berwibawa sebagai standar peradaban. Yang berarti tingkat kepatuhan hukum tinggi dan dukungan dalam proses penegakkan hukum diselenggarakan dalam sistem yang terintegrasi, transparan, dan akuntabel.
Point-point diatas merupakan sebuah resep untuk mengobati, bukan memakan resepnya tetapi mengolah resep menjadi obat.
Penjabaran resep diatas diperlukan pemimpin yang transformatif memiliki kemampuan dan berani untuk memanage, mengemas, memaknai, memarketingkan dan membangun jejaring untuk memperkuat semua lini.
Tanpa pemimpin yang berani dan mampu maka, jangan harap ada kesehatan dan tetaplah menyanyikan “aku masih seperti yang dulu”.(CDL-040115)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana