TRANSINDONESIA.CO – Aksi demonstrasi buruh dengan memblokir jalan tol dinilai sebagai hasil pembiaran dari sistem keterbukaan publik yang bersifat semu.
“Ini bukan sebab, tetapi akibat dari sistem (keterbukaan) yang masih semu. Kita boleh saja hidup dalam alam reformasi, tapi sistem keterbukaan masih cara lama. Ini yang menyebabkan para pendemo memerlukan ruang untuk meluapkan aspirasinya,” urai pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, Jumat (28/11/2014).
Ia menilai, jika sejak awal tidak diberikan kesempatan, maka aturan bisa tegas ditegakkan. Dosen program Vokasi UI itu menuturkan, kondisi ini bisa dikatakan sebagai fenomena sosial. Terlihat, makin seringnya pendemo melakukan aksi blokir di berbagai tempat ketika menyalurkan aspirasi.
“Dengan aksi itu maka berdampak pada hilangnya hak orang lain. Padahal, aspirasi mereka (pendemo) adalah untuk menegakkan hak azasi manusia (HAM) tapi dengan cara itu (blokir jalan) sama saja menghilangkan hak orang lain,” katanya.
Agar hal ini tidak terulang, saran dia, maka pimpinan perusahaan harus berani menghadapi para pendemo. Mereka tidak perlu takut terhadap pendemo karena dengan duduk bersama dan saling mendengarkan maka akan tercipta keterbukaan dan menghindari aksi demo.
“Ini yang selama terabaikan. Komunikasi intensif dan konsisten itu mutlak diperlukan,” pungkas Devie.(rol/saf)