TRANSINDONESIA.CO – Di sela-sela Sidang ke-69 Majelis Umum PBB, Indonesia menggelar Forum Indonesia’s Reducing Emission form Deforestation and Degradation (REDD+). Forum ini untuk lebih mempromosikan komitmen mengurangi emisi gas rumah kaca secara global, terutama pelaksanaan REDD+ di Indonesia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa REDD+ di Indonesia terbukti menjadi modal berharga dalam upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan.
“Secara pribadi, saya yang terlibat langsung memilki sejumlah pengalaman berharga pada proses pembentukan REDD+ tersebut,” kata Presiden SBY dalam forum yang digelar di Conference Building, Markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat, Rabu (24/9/2014) pukul 10.25 waktu setempat atau 21.25 di Jakarta.
Pelajaran pertama, ujar Presiden SBY, keberhasilan implementasi REDD+ memerlukan perubahan pola pikir tentang pemanfaatan dan tata kelola hutan. Di Indonesia, REDD+ menjadi sarana mempromosikan pola pikir baru untuk menggunakan dan mengelola sumber daya alam yang berharga.
Selanjutnya, REDD+ harus relevan. Tidak hanya lingkungan, tetapi juga memperhatikan aspek sosial. Indonesia mengembangkan Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dengan Skema REDD+. Indonesia juga mengembangkan sistem perlindungan yang komprehensif untuk mencegah dampak negatif dari pelaksanaan REDD+ di masyarakat adat.
“Hal ketiga untuk memastikan keberhasilannya, REDD+ harus didukung oleh semua pemangku kepentingan. Penting bagi semua pemangku kepentingan untuk bekerja sama,” SBY menambahkan.
Kebijakan moratorium , lanjut SBY,terbukti berhasil menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Tahun lalu, Presiden SBY memperpanjang kebijakan moratorium hingga 2015 dengan dukungan Pemerintah Norwegia.
Kelima, negara berkembang memerlukan dukungan dan kemitraan internasional, termasuk pendanaan. “Juga tak kalah penting adalah dukungan PBB yang meluas kepada negara-negara berkembang yang menjalankan REDD +, sebagaimana diamanatkan oleh Rencana Aksi Bali,” Presiden SBY menegaskan.
Forum ini dihadiri, antara lain, Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Tina Sundtoft, Perwakilan UNDP Helen Clark, dan sejumlah organisasi lingkungan internasional. Dari Indonesia hadir Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto dan Kepala Badan Nasional Pengelola REDD+ Hery Prasetyo.
REDD+ sendiri diluncurkan pada awal tahun 2005, dan telah berperan sebagai mekanisme penting untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Dengan REDD+, negara-negara berkembang membuat kontribusi yang signifikan pada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Menurut data yang disampaikan Presiden SBY, sekitar 17 sampai 20 persen emisi gas berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Dengan program pengurangan emisi dari degradasi dan deforestrasi atau REDD+, negara-negara berkembang turut melakukan tata kelola hutan yang berkelanjutan.
“Dengan REDD+, negara-negara berkembang membuat kontribusi yang signifikan pada upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” SBY menambahkan.
Memang penggunaan lahan dan sektor kehutanan memberikan kontribusi hingga seperlima dari pemanasan bumi tahunan. “Oleh karena itu, menangani masalah emisi dari deforestasi dan degradasi hutan adalah suatu keharusan, jika kita ingin tetap menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius,” Presiden menegaskan.(pri/sof)