10 Kabupaten di NTT Krisi Air

Kemarau panjang membuat NTT krisis air.(dok)
Kemarau panjang membuat NTT krisis air.(dok)

TRANSINDONESIA.CO – Sebanyak 10 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami krisis air akibat berkurangnya debit air pada musim kemarau ini.

“Walaupun demikian, tidak berdampak pada ketersediaan pangan masyarakat. Kondisi stok pangan masyarakat masih tersedia cukup,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKP2) Provinsi Nusa Tenggara Timur Hadji Husen melalui Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Silvya Peku Djawang.

Dia menyebutkan 10 kabupaten yang telah melaporkan krisis kekeringan air pada musim kemarau ini, yaitu Kabupaten Lembata, Flores Timur, Ende, Nagekeo, Alor, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sabu Raijua, dan Kabupaten Kupang.

Menurut Silvya, kondisi kekerangan yang dimaksud dalam laporan dari 10 kabupaten ini, lebih berkaitan pada berkurangnya pasokan air bersih yang akan dimanfaatkan untuk sumber pertanian dan juga sumber air baku dalam rumah tangga.

Dengan demikian, lanjut dia, laporan tersebut tidak ada kaitan dengan bencana kekeringan yang berdampak pada produktivitas pertanian dan hasilnya.

“Laporan ini tidak pada aspek kekeringan yang berdampak pada gagal tanam dan gagal panen,” katanya menegaskan.

Dia mengatakan, untuk aktivitas tanam di paruh kedua musim tanam tahun ini, yang berada pada musim kemarau ini, tidak terlampau banyak dilakukan petani di seluruh wilayah ini.

Aktivitas pertanian yang dilakukan para petani pada musim ini hanya berlaku pada lahan pertanian yang memiliki relatif cukup sumber air baku untuk irigasi.

Dengan demikian, lanjut dia, lahan pertanian yang dimanfaatkan pada musim tanam kedua ini tidak terlampau banyak.

Areal tanam pada musim kemarau atau musim tanam kedua tidak terlalu banyak karena lebih pada daerah irigasi, sedangkan lahan kering dan sawah tadah hujan, tidak terlalu optimal karena debit air yang tersedia dinilai tidak terlalu cukup untuk dimanfaatkan dan hanya bisa dipakai untuk menanam hortikultura.

Karena laporannya lebih pada krisis ketersediaan air, menurut Silvya, kewenangan untuk penyelesaian berada pada Dinas Pekerjaan Umum (PU). Sebab, penanganan irigasi menjadi tugas pokok dan fungsi instansi teknis tersebut.

“Kami sudah berkoordinasi dengan dinas tersebut untuk segera melakukan tindakan cepat di lapangan,” katanya.

Menyinggung soal ketersediaan pangan, Silvya mengatakan, “Masih mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat selama empat bulan ke depan. Bahkan, untuk varietas jagung, ketersediaan akan mencapai satu tahun ke depan.” Dia mengatakan bahwa ketersediaan pangan tersebut dihitung berdasarkan kebutuhan rata-rata tiap bulan dengan persediaan saat ini.

Persediaan beras saat ini, kata dia, sebanyak 205.520 ton dengan rata-rata kebutuhan 46.709 ton per bulan maka dapat mencukupi untuk 4,4 bulan ke depan.

Persediaan jagung saat ini sebanyak 104.419 ton dengan rata-rata kebutuhan 8.222 ton maka dapat mencukupi untuk 12,7 bulan ke depan, sedangkan untuk umbi-umbian, katanya, persediaan saat ini sebanyak 37.784 ton dan rata-rata kebutuhan 8.214 ton per bulan.

“Dengan demikian, masih bisa mencukupi kebutuhan untuk 4,6 bulan ke depan,” ujarnya.

Sementara itu, untuk kedelai, jumlah persediaan saat ini sebanyak 570 ton dan rata-rata kebutuhan sebanyak 713 ton per bulan yang sanggup memenuhi kebutuhan untuk untuk 0,8 bulan ke depan.

“Kondisi persediaan pangan tersebut merupakan data makro, bukan data mikro yang diambil berdasarkan data setiap rumah tangga,” katanya.(ant/sun)

Share
Leave a comment