Menuju Kemabruran Haji

haji-mabrur

TRANSINDONESIA.CO – Musim haji telah tiba. Jutaan kaum Muslim dari seluruh penjuru dunia mulai berbondong-bondong menuju Tanah Suci Makkah al-Mukarramah untuk memenuhi undangan Allah SWT.

Dalam Alquran Surah al-Hajj [22] ayat 27 ditegaskan bahwa seluruh manusia telah diundang untuk menunaikan ibadah haji. Namun, tidak semua memiliki kesungguhan untuk memenuhi undangan itu. Hanya orang-orang yang memiliki kekuatan iman yang cepat merespons undangan haji.

Buktinya, banyak orang yang berkecukupan harta (kaya) tidak tertarik untuk memenuhi undangan haji. Dan, tidak sedikit orang yang kekurangan harta, tapi memiliki semangat memenuhi undangan haji sehingga Allah mudahkan jalannya untuk ke Tanah Suci.

“Labbaik Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wanni’mata laka walmulk la syarika laka.” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).

Tentu, setiap orang yang menunaikan ibadah haji mendambakan haji yang mabrur. Dan untuk meraihnya setiap calon jamaah haji (calhaj) hendaknya selalu memperhatikan tahapan-tahapannya.

Sebelum ke Tanah Suci

Apa yang seharusnya dipersiapkan oleh setiap calon jamaah haji yang hendak menghadiri undangan haji? Yaitu, meluruskan niat. Setiap jamaah hendaknya selalu menjaga (meluruskan) niat ke Tanah Suci semata karena Allah SWT. Dalam hadis ditegaskan, “Barang siapa berhaji semata-mata karena Allah, maka ia diampuni dan diberi hak memohonkan pertolongan (memberi syafaat) untuk orang-orang yang didoakannya.” (HR Abi Mundzir).

Lalu, berbekal ketakwaan. Selain persiapan fisik saja bagi calhaj, ada yang lebih penting, yaitu kesiapan mental dan spiritual (ketakwaan). Jika calhaj rutin melakukan olahraga jalan kaki setiap pagi, ia pun harus membiasakan diri beribadah secara istiqamah, seperti shalat lima waktu dengan berjamaah, menunaikan shalat qiyamul lail, shalat Dhuha, tilawah Alquran setiap hari, bersilaturahim, memperbanyak istighfar, banyak berdoa, dan banyak bersedekah.

Selain itu, bekal haji (ONH) dan nafkah untuk keluarga yang ditinggalkan harus benar-benar bersumber dari harta yang halal. Karena, berbekal harta yang haram dapat menyebabkan ketidakmabruran ibadah haji. Naudzubillah.

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada talbiyah bagimu dan tidak ada pula keberuntungan atasmu karena makananmu haram, pakaianmu haram, dan hajimu ditolak.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah hendaknya setiap calon jamaah haji membekali diri dengan ilmu manasik haji dan mengikuti praktik atau latihan manasik haji, baik yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama maupun Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).

Selama di Tanah Suci

Syarat diterimanya ibadah, selain dengan niat ikhlas semata karena Allah, juga harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dengan pelaksanaan ibadah haji. Oleh karena itu, setiap calon jamaah haji hendaknya selalu mengikuti rangkaian ibadah haji sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW. Beliau bersabda, “Tirulah aku dalam melaksanakan manasik.”

Perbanyak zikir (membaca takbir, tasbih, tahmid, dan talbiah) dan tadarus Alquran. Aktivitas zikir dan tadarus Alquran sebagai upaya mengendalikan lisan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), fusuk (fasik), dan jidal (berbantah-bantahan). (lihat dalam QS al-Baqarah [2]: 197) dan (QS al-Baqarah [2]: 200).

Perbanyak pula iktikaf di masjid dan jauhi kebiasaan mengobrol yang berlebihan sehingga dapat memancing pada rafats, fusuk, dan jidal, serta aturlah waktu kegiatan (seperti ziarah dan jalan-jalan) sebaik mungkin agar tidak ketinggalan dalam shalat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Sepulang dari Tanah Suci

Mabrur merupakan predikat tertinggi dalam pelaksanaan ibadah haji. Dan, tidak mudah mencapai predikat mabrur. Jika predikat itu telah berhasil digapai sekalipun, tidak otomatis akan melekat sepanjang hayat dalam diri sang haji dan hajjah.

Sepulang dari Tanah Suci, jamaah haji hendaknya selalu berupaya menjaga kemabruran haji. Dalam hal ini, Kementerian Agama RI telah menerbitkan buku Panduan Pelestarian Haji Mabrur yang dibagikan kepada setiap jamaah.

Dalam buku itu disebutkan tiga aspek upaya pelestarian kemabruran haji. Pertama, aspek kepribadian. Setiap jamaah haji hendaknya terus berupaya melestarikan amalan-amalan yang telah dilaksanakan selama di Tanah Suci, seperti shalat tepat waktu, melaksanakan ibadah-ibadah sunat, berhias dengan sifat-sifat terpuji, cepat melakukan taubat apabila telanjur melakukan kesalahan, dan ibadah-ibadah lainnya.

Kedua, aspek ubudiyah. Setiap jamaah haji hendaknya terus berupaya untuk meningkatkan kualitas ibadah shalat, puasa sunah, tilawah Alquran, kepedulian terhadap orang lemah ekonomi melalui zakat, infak, dan sedekah, dan lain sebagainya.

Ketiga, aspek sosial. Setiap jamaah haji harus membiasakan diri shalat berjamaah, menyantuni anak yatim, menjenguk orang sakit dan meninggal dunia, kerja bakti dan tolong-menolong, serta mendamaikan orang yang berselisih.

Yang intinya adalah seperti dikatakan oleh Syekh Hassan al-Mussyath bahwa, “Tanda-tanda kemabruran haji seseorang apabila mampu membentuk kepribadiannya setelah melaksanakan ibadah haji berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya dan tidak lagi mengulang maksiat.”

Semoga kaum Muslim yang melaksanakan ibadah haji tahun ini dapat meraih predikat haji mabrur dan dapat melestarikan nilai-nilai ibadah haji itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Wallahu a’lam.

Oleh: Imam Nur Suharno (Pengajar di Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat).(republika).

Share