TRANSINDONESIA.CO – Dituntut 10 tahun penjara, majelis hakim memutuskan empat tahun kurungan untuk terdakwa Gubernur Banten non-aktif Ratu Atut Chosiyah.
Ringannya vonis tersebut dalam sidang perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah menilai bahwa putusan penjara selama 4 tahun, denda Rp200 juta, dan subsider 5 bulan kurungan merupakan hal yang wajar.
“Meskipun dinyatakan terbukti, majelis menilai adalah cukup wajar jika dijatuhi pidana 4 tahun sekalipun tuntutannya 10 tahun,” kata ketua majelis hakim Matheus Samiadji dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (1/9/2014).
Dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian hadiah Rp1 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait pengurusan sengekta pemilihan kepala daerah (pilkada) di kabupaten Lebak, Ratu Atut divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Saat pembacaan putusan, anak perempuan Atut, Andiara Aprilia Hikmat dan adik Atut, Ratu Tatu Chasanah ikut menemani dalam ruang sidang bersama dengan puluhan pendukung Atut.
“Memang putusan ini tidak bulat, perkara ini buktinya hanya dari petunjuk-petunjuk begitu maka kesannya dalam mempertimbangkan unsur-unsur faktanya diulang-ulang melulu memang begitu ya, sangat berat tadi bagaimana hakim anggota 4 berbeda pendapat,” ungkap hakim Matheus.
Putusan tersebut jauh lebih ringan dibanding dengan tuntutan jaksa KPK menuntut Ratu Atut Chosiyah selama 10 penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan ditambah pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa Atut memang terbukti menyetujui pemberian uang sebesar Rp1 miliar untuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
“Meski terdakwa mengatakan bahwa namanya hanya diperjualbelikan, majelis setelah meneliti bukti dan keterangan saksi menilai terdakwa sudah mengetahui dari awal dan menyetujui pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil Mochtar,” kata anggota majelis hakim Sutio Sumadi.
Atut kemudian menyampaikan agar dilakukan pengurusan perkaranya melalui Akil Mochtar yang sudah dikenalnya seperti saudara sendiri sehingga Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak tahun 2013 bisa dilakukan Pemilihan Suara Ulang (PSU).
Pada 30 September, Wawan dan advokat Susi Tur Andayani bertemu di hotel Ritz Carlton dan dalam pertemuan tersebut Susi menyampaikan bahwa Akil meminta uang Rp3 miliar, namun Amir tidak punya uang sehingga Susi meminta Wawan untuk menyediakan dananya.
Atut menyetujui untuk memenuhi permintaan Akil dengan mengatakan “bisa minjem berapa ibu”, “Enya sok atuh, ntar di ini-in”, “ya udah sok atuh Wawan ini nanti kabarin lagi ya!”.
Dalam putusan itu juga diwarnai dengan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari hakim anggota empat Alexander Marwata, dan menilai bahwa Atut tidak memberikan izin terhadap pemberian uang itu.
“Tidak benar terjadi kesepakatan di Hotel Sultan dan terdakwa tidak pernah meminta ke Akil Mochtar untuk mengurus sengketa yang diajukan Amir Hamzah dan Kasmin, terdakwa juga tidak pernah mengutus Tubagus Chaeri Wardhana untuk mengurus sengketa pilkada Banten, pertemuan dengan Akil di Singapura juga bukan dari awal dikehendaki untuk mengurus sengketa di provinisi Banten khususnya di lebak sebagaimana dalam dakwaan,” kata hakim Alexander.
Ratu Atut seusai sidang menyatakan bahwa ia hanyalah korban.
“Dari kejadian kasus pilkada Lebak, dari lima hakim keempat yang menyatakan sebenarnya. Di sini saya hanya korban dari kepentingan Susi dan Amir Hamzah yang senantiasa berkomunikasi dengan Pak Akil dan selalu menjual nama saya dan memaksa adik saya untuk meminjamkan uang,” kata Ratu Atut.
Ia berharap agar aparat penegak hukumlah dapat menilai siapa yang sesungguhnya bersalah.
“Saya tadi sudah menyampaikan bahwa apa yang disampaikan satu hakim, itulah yang benar terjadi pada saya. Kenyatannya kejadian-kejadian yang terjadi terhadap saya bukan saya yang melakukan,” ungkap Ratu Atut.
Namun Atut juga meminta maaf kepada masyarakat Banten karena kasus yang menjeratnya tersebut.
“Saya minta doanya saja, saya minta maaf pada masyarakat khususnya masyarakat Banten atas kejadian ini. Saya terdesak, seolah-olah saya melakukannya walaupun kenyataanya tidak demikian. Sekali lagi saya mohon maaf kepada masyarakat, khususnya masyatakat Banten dan saya minta maaf kepada keluarga saya,” tambah Ratu Atut.
Putusan Atut berdasarkan dakwaan primer yaitu dari pasal 6 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara.(ant/fer)