e-Policing Cetak Polisi Hebat dan Bermartabat

Patroli Polisi Tempoe Doeloe.(ist)
Patroli Polisi Tempoe Doeloe.(ist)

TRANSINDONESIA.CO – Polisi hebat dan martabat adalah pemolisian yang mampu mengangkat harkat dan martabat manusia (nguwongke), e-Policing bisa mencetak polisi-polisi hebat dan bermartabat tidak hanya untuk korps dan masyarakat tetapi juga hebat dan bermartabat untuk diri dan keluarganya.

Keberadaan polisi hebat dan bermartabat akan melegakan, memberi rasa aman bagi warga masyarakat. Mampu menjembatani, menjadi teman dan sahabat dalam peenderitaan, kedukaan dan tidak berlebihan juga dapat dikatakan sebagai sosok penolong.

Konteks hebat bagi polisi memang bukan semata-mata dari teknologinya tetapi bagaimana polisi mampu menjadi ikon kemanusiaan, peradaban dan ikon bagi hidup dan kehidupan dimasyarakat.

Ini berarti, keberadaan polisi diterima dan mendapat dukungan yang tulus dari warga masyarakat, sehingga menjadikan polisi bermartabat.

Polisi hebat dan bermartabat bukan atas dasar pangkat/jabatan atau hal-hal yang kedagingan/ keduniawian. Melainkan polisi yang dengan otak, otot dan hati nuraninya dicurahkan bahkan rela dikorbankan demi warga yang dilayaninya dapat hidup aman, nyaman tenteram damai, tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman hambatan/gangguan dalam hidup dan kehidupanya. Selain itu juga ditandai adanya budaya patuh hukum diatas dari segalanya.

Sayangnya, sekarang ini banyak yang terbalik-balik, dimana nilai dan tatanan yang hakiki sebagai polisi dengan orientasi-orientasi kedagingan, hedonisme, pangkat dan jabatan sebagai simbol kekuasaan/kewenanganya justru menjadi jauh dengan masyarakat.

Inginnya, banyak pendapat walau tidak mampu memberi pendapat, banyak tantangan walau tidak mampu mengatasi tantangan.

Orientasi ini biasaya pada tempat-tempat yang basah (mata air) tanpa pernah membasuh/mengusap air mata masyarakatnya. Orientasi ini biasaya tidak jauh dari semboyan “WPOP” (wani piro oleh piro)

Keberadaanya-pun membuat takut, resah, nggapleki bagi masyarakat terutama kaum-kaum marginal yang rentan.

Pemolisian ini, sama sekali tidak mnyentuh hati dan perasaan karena semangat WPOP ditambah UUD (ujung-ujungnya duit), sehingga tidak lagi peka dan peduli akan kemanusiaan/manusia lainya, “Sing penting pung nak pung no” (mumpung enak mumpung ono).

Gaya seperti ini njeelehi dan bisa dianalogikan bagai bedhes bandulan atau model unthul munyuk dan jaran keplakan.

Akibatnya, bukan menjadi ikon positf, melainkan menjadi bahan plesetan, anekdot dan kritikan yang social costnya sangat mahal.

Namun apa daya, kalau bedhes yang hatinya cukup seenang bandhulan saja, atau munyuk yang djadikan unthul, jaran yang mondar mandir karen dikeplaki. Sayang memang.

Disinilah perlunya pemimpin untuk menjadikan bedhes dan munyuk serta jaran yang tadinya jadi bahan olok-olokan menjadikan ikon kmanusiaan yang lemah lembut dan rendah hati yang mampu melegakan beban atau menjadi jembatan/mitra-sahabat yang aman, menyenangkan dan membawa manfaat.

Mendengar atau melihat ada polisi rasa aman menyelimuti dan menaungi seluruh warga. Polisi dengan pemolisiannya, harus mampu menjadi ikon penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan, sehingga atau dengan e-Policing dapat menempah dan mencetak polisi-polisi hebat dan bermartabat. Semoga !.(CDL-Agst2014)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share