TRANSINDONESIA.CO – Wacana mengenai penghilangan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang secara individual diangkat salah satu anggota tim sukses capres-cawapres menarik perhatian publik. Sebagai salah seorang analis kependudukan di instansi pemerintah yang fokus dalam pelayanan publik untuk penerbitan dokumen kependudukan, isu tersebut membuat saya ingin mencoba memahami apa pentingnya kolom agama pada KTP.
Sebagai seorang analis kependudukan, saya tentunya dituntut untuk benar-benar mengenal karakter lokal masyarakat setempat. Kolom agama pada KTP di beberapa daerah menjadi penting karena menyangkut beberapa hal di dalam penanganan masalah kependudukan. Contohnya, soal perkawinan, hak waris, penyaluran zakat, infak, sedekah, serta pendidikan.
Di dalam undang-undang dinyatakan bahwa perkawinan antar-Muslim diurus di Kantor Urusan Agama (KUA). Bukti spesifik seseorang dianggap Muslim di Indonesia adalah KTP. Berbeda bagi mualaf, di mana mereka diakui menjadi Muslim dengan adanya piagam masuk Islam yang diterbitkan Kementerian Agama dan kemudian ditransformasikan pada KTP.
Lantas, bagaimana kemudian seseorang dapat diakui Muslim apabila kolom agama pada KTP dihilangkan? Bisa saja ditangani dengan menerbitkan akta pengakuan Muslim oleh instansi Pemerintah. Sama halnya dengan surat baptis dari gereja.
Kemudian, untuk mengurus administrasi pernikahan maka masyarakat harus melengkapi dokumen kependudukan, seperti KTP, KK, dan sebagainya juga ditambah dengan akta pengakuan Muslim. Beberapa daerah di Indonesia yang akses untuk mendapatkan dokumen kependudukan ke kantor pelayanan publik banyak terkendala faktor geografis, infrasturktur, dan biaya, akan bertambah beban dan kesulitannya.
Itu baru satu contoh saja. Kemudian, bagaimana dengan manajemen distribusi zakat, infak, dan sedekah bagi kaum Muslim? Kemudian, bagaimana manajemen administrasi untuk hak waris Muslim? Bagaimana agar bantuan pendidikan untuk santri dan pelajar di madrasah agar tepat sasaran dan tidak salah orang? Karena, banyak pula nama non-Muslim yang mirip dengan nama Muslim, terutama mereka yang murtad.
Jika jawabannya adalah pemanfaatan kecanggihan sistem informasi/teknologi informasi maka situasi di lapangan sering kali di luar kemampuan kecanggihan alat-alat komputer dan IT. Toh, selama ini pemalsuan dokumen kependudukan kerap terjadi di daerah-daerah dikarenakan kebutuhan mendesak dan masalah biaya transportasi ke kantor pelayanan publik yang bisa menjadi mahal karena infrastruktur dan faktor geografis yang sulit.
Padahal, saya berharap, dengan adanya KTP dapat menghilangkan banyaknya dokumen kependudukan yang harus dimiliki rakyat. Harapan ke depannya, KTP sudah bisa memuat berbagai informasi pribadi penduduk, seperti NPWP, SIM, surat nikah, akta kelahiran, BPJS, ATM, debit, dan kartu kredit sekaligus. Betapa ringannya biaya, kemudahan manajemen, dan beban rakyat Indonesia di dalam kepemilikan data informasi kependudukan yang bisa serbaguna dengan satu kartu.
Harapan kita, ingin agar masyarakat tidak dirugikan dalam waktu, biaya, dan kepemilikan berbagai macam kartu identitas. Karena, jika hilang satu dompet dengan berbagai kartu tentu sangat repot mengurusnya. Lantas, berapa biaya dan waktu untuk mengurus dokumen kependudukan, seperti KTP, KK, akta kelahiran ditambah surat pengakuan Muslim juga hilang?
Jika memang komitmen para calon presiden dan calon wakil presiden ingin melayani, melindungi, dan menyejahterakan rakyat maka kita harus kembali bertanya dengan serius. Dalam konteks rakyat Indonesia (dari Sabang sampai Merauke, bukan hanya kota besar di Jawa) masihkan penting kolom agama di dalam KTP?
Nasyaruddin: Analis Kependudukan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pandeglang-Banten.(republika)