Hakim Tipikor Tolak Keberatan Anas

anas-di-sidang-tipikorAnas Urbaingurum dipengadilan Tipikor.(dok)

TRANSINDONESIA.CO – Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menolak keberatan (eksepsi) yang diajukan mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi menerima “fee” dari proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.

“Menolak eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh terdakwa Anas Urbaningrum dan eksepsi atau keberatan yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa; menyatakan surat dakwaan penuntut umum KPK terhadap terdakwa Anas Urbaningrum adalah sah menurut hukum; mentetapkan bahwa pemeriksaan perkara ini dilanjutkan sebagaimana ketentuan hukum,” kata ketua majelis hakim Haswandi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/6/2014).

Dalam perkara ini, Anas diduga menerima “fee” sebesar tujuh-20 persen dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, satu mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.

Dakwaan pertama tersebut berdasarkan pasal 12 huruf a subsider pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta-Rp1 miliar.

Anas juga diduga melakukan penyamaran harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar yaitu terdiri atas penyamaran harta kekayaan hingga Rp20,88 miliar untuk pembelian sebidang tanah dan bangunan saat menjabat sebagai anggota DPR pada periode 2009-2010.

Atas perbuatan itu, Anas didakwa berdasarkan pasal 3 dan atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 dengan ancaman pidana terhadap orang yang melanggar pasal tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Sedangkan dakwaan ketiga adalah Anas diduga menyamarkan harta kekayaan melalui PT Arina Kota Jaya seluas 5.000-10.000 hektare yang berada di kecamantan Bengalon dan kecamatan Kongbeng kabupaten Kutai Timur. Dakwaan berdasarkan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Namun putusan untuk menolak eksepsi tersebut diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua anggota majelis hakim yaitu hakim anggota Slamet Subaygo dan Joko Subagyo terkait dakwaan TPPU yaitu bahwa jaksa KPK tidak berwenang menangani perkara TPPU.

“Dalam memutuskan perkara ini terdapat ‘dissenting opinion dari 2 hakim anggota yaitu hakim ‘ad-hoc’ Slamet Subagyo dan Joko Subagyo,” kata hakim Haswandi.

“Menimbang pada putusan sela hakim angggota ketiga dan keempat tidak dapat menerima eksepsi,” kata hakim Slamet Subagyo.

Menurut Slamet, dalam UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak diatur siapa yang dimaksud dengan penuntut umum dalam perkara TPPU.

“Sedangkan berdasarkan pasal 13 UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan,” ungkap Slamet.

Anggota majelis hakim ke-4 Joko Subagio mengatakan bahwa organ pemerintah tidak bisa menganggap sendiri dirinya punya wewenangan.

“JPU KPK tidak punya kewenangan untuk mengajukan penuntutan pencucian uang ke pengadilan sehingga TPPU dalam dakwaan ke-2 dan ke-3 haruslah tidak dapat diterima,” kata hakim Joko Subagyo.

Agenda pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan saksi mulasi Senin (23/6/2014).(ant/fer)

Share