16 Tahun Tragedi Trisakti, Para Jenderal Tak Tersentuh

tragedi trisaksiCivitas Akademika Universitas Trisakti melakukan doa bersama di Monumen Reformasi yang berdiri di halaman Universitas Trisakti, Jakarta.(ant)

TRANSINDONESIA.CO – 12 Mei 1998. Abdul Mun’im Idries baru saja tiba di rumahnya malam itu. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. “Dok, bantu kami, dok. Ada korban penembakan…” kata suara di ujung telepon.

Pakar forensik itu belum tahu, beberapa jam sebelumnya, terjadi penembakan terhadap kerumunan mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Penembakan dilakukan saat mereka berdemonstrasi meminta Soeharto turun dari jabatan. 4 mahasiswa tewas.

Tapi, Mun’im mengenali suara itu milik Idham Aziz, Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat. “Korban ada di RS Sumber Waras. Dokter datang saja ke pos polisi Terminal Grogol,” lanjut Idham seperti dieritakan Mun’im dalam buku Indonesia X-Files: Mengungkap Fatka dari Kematian Bung Karno sampai Kematian Munir.

Tanpa mengganti baju, Mun’im itu menuju pos polisi itu. Sesampai di sana, ia diminta menunggu. Sampai pukul 23.00, tak ada kejelasan. Mun’im lalu bilang,”Pak, daripada menunggu tidak jelas, lebih baik saya berangkat ke Sumber Waras sekarang.”

Ia dibonceng sepeda motor oleh polisi tak berseragam. Dikawal 2 petugas lain dengan sepeda motor lain. Anehnya, petugas yang mengantarnya memilih untuk melalui jalan tikus. Padahal saat itu jalanan telah sepi dan seharusnya mereka bisa langsung lurus menuju RS Sumber Waras.

“Pak dokter, kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter,” ungkap si petugas ketika ditanyakan soal pilihan rutenya.

Sesampai di RS Sumber Waras, Mun’im melakukan pemeriksaan. “Masing-masing mendapat luka tembak pada daerah yang mematikan, bukan untuk mulumpuhkan… Ada di dahi dan tembus ke daerah belakang kepala, ada di daerah leher, di daerah punggung, dan ada yang di daerah dada,” tulis Mun’im yang meninggal dunia pada 27 September 2013 itu.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Semua tewas karena peluru tajam.

Demonstrasi dipicu kegoyahan ekonomi Indonesia yang terpengaruh krisis keuangan Asia sepanjang 1997-1999. Banyak perusahaan tutup, PHK terjadi di mana-mana. Rezim Orde Baru menjadi sasaran kemarahan. Mahasiswa turun ke jalan, menuju ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihadang blokade polisi dan aparat militer di depan kantor Walikota Jakarta Barat. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan aparat keamanan. Gagal, tetap dilarang ke Senayan. Mereka pun melakukan aksi di Jl. S. Parman itu.

Tembakan dari Jalan Layang Grogol

Pada pukul 17.15, diputuskan para mahasiswa bergerak mundur, ke arah kampus. Sempat diwarnai sejumlah ketegangan, mahasiswa mulai masuk ke halaman kampus. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Beberapa kali. Arahnya dari jembatan layang Grogol. Kepanikan melanda. Ketika tembakan mereda, diketahui 4 mahasiswa meregang nyawa.

Kematian mereka memantik kemarahan yang lebih besar. Keesokan harinya, mahasiswa hendak kembali menggelar demo. Tapi, datang massa tak dikenal melakukan provokasi, merusak dan membakar bangunan. Itulah awal dari kerusuhan massal di Jakarta. Hal serupa juga meledak di berbagai daerah, seperti Solo.

Pada kerusuhan ini banyak toko dan kantor dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga keturunan Tionghoa. Korban yang jatuh jauh lebih besar, ribuan orang. Inilah awal runtuhnya kekuasaan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tragedi Trisakti hanya berujung pada pengadilan sejumlah aparat Brimob. Masing-masing mereka dihukum 34 bulan penjara. Pangkat paling tinggi di antara mereka adalah Iptu. Tak ada perwira tinggi yang tersentuh.

Usai memeriksa 4 mahasiswa itu, Mun’im bertemu Kapolda Metro Jaya saat itu, Hamami Nata. Kemudian Mun’im menyampaikan hasil autopsi.

“Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?” kata Hamami.

Mun’im langsung berpikir bahwa Polda Metro dikerjain. Entah oleh siapa. Panglima ABRI saat itu adalah Jenderal Wiranto. Jakarta merupakan teritori Hamami dan Pangdam Jaya, Mayjen Sjafrie Syamsuddin.(lp6/yan)

 

Share