TRANSINDONESIA.CO, Jakarta : Perempuan memiliki banyak potensi, sebagaimana pula laki-laki. Potensi di dunia kerja profesional membuktikan kian banyak posisi sebagai dokter, arsitek, pendidik, yang dilakoni oleh perempuan.
Rasio populasi perempuan dan laki-laki di Indonesia juga tidak terpaut jauh. Ini adalah peluang buat perempuan untuk turut terjun di ranah publik lebih luas lagi.
Namun dikutip dari data hasil pemilihan umum periode tahun 1955—2009, perempuan masih sangat sedikit terpilih sebagai anggota DPR/MPR. Pencapaian tertinggi adalah pada Pemilu 2009, di mana jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen adalah sedikit di atas 18 persen (KPU, 2010).
Lalu pantas kita berkecil hati? Tidak juga. Karena dalam beberapa tahun terakhir Indonesia terus menggiatkan upaya menyeimbangkan jumlah anggota dewan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam 15 tahun terakhir kita berhasil memilih perempuan sebagai presiden. Beragam kebijakan pro-perempuan telah diputuskan oleh pemerintah (UNDP, 2010). Ada pula peraturan kuota minimal 30 persen perempuan untuk daftar calon legislatif dari masing-masing partai politik.
Tapi mengapa representasi perempuan di dewan masih tergolong rendah?
Faktor pertama terletak di pemahaman kita tentang konsep perempuan (Davies, 2006). Dalam hal partisipasi politik, sebelum seorang perempuan boleh terjun dalam dunia politik, ia harus sudah berkeluarga dan memiliki anak.
Perempuan yang memilih menjadi politisi akan dikritisi dari kesuksesannya membesarkan anak-anak. Dengan kata lain, perempuan yang berpolitik cenderung dianggap hanya mengerjakan pekerjaan sampingan, setelah urusan di rumahnya selesai atau tercukupi.
Tapi justru dari aspek ini perempuan bisa memanfaatkan isu-isu yang erat dengan kepentingan perempuan, anak, dan keluarga sebagai ‘ruh’ dari program politiknya (Thomson, 2003). Sebab salah satu ide peningkatan jumlah perempuan di parlemen adalah karena kita ingin kepentingan perempuan, anak, dan keluarga mendapat perhatian yang lebih banyak.
Faktor berikutnya yang membuat perempuan kurang banyak terwakili di parlemen adalah karena politik itu sendiri kerap dipersepsikan sebagai sesuatu yang “kotor”, kasar, dan manipulatif (Aripurnami, 2000).
“Padahal dengan terlibat di parlemen, saya merasakan langsung manfaatnya. Saya bisa membantu lebih banyak orang yang kesusahan karena kita mengubah keadaan lewat kebijakan,” kata Nurjanah Hulwani, seorang anggota DPRD Jakarta yang kini mencalonkan diri sebagai anggota DPR pusat.
Lebih lanjut Nurjanah melihat jika perempuan aktif di parlemen, berbagai kebijakan pun bisa diarahkan agar ramah terhadap perempuan dan anak.
Aspek lain yang menghambat pertumbuhan rasio perempuan berparlemen adalah unsur pandangan agama (Platzdasch, 2000). Beberapa orang masih melihat perempuan tidak sepatutnya berpolitik, dan biar laki-laki saja yang berkecimpung aktif di parlemen.
Terkait dengan kualitas perempuan untuk berpolitik, peran partai politik juga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Perempuan yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) harus mendapat restu dan dicalonkan oleh partai politik.
“Memang parpol sudah melibatkan perempuan sebagai caleg, namun masih lebih mengutamakan figur perempuan dari kalangan artis atau yang populer daripada perempuan yang berkualitas,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Masruchah.
“Jika bukan artis maka perempuan yang diusung menjadi caleg berasal dari kalangan berduit, akhirnya pilihan berkualitas masih menjadi nomor ke sekian,” ujarnya.
Alasan biaya pencalonan yang tinggi juga turut mengakibatkan rendahnya kursi parlemen yang diraih oleh perempuan. Dengan ongkos politik demikian tinggi, perempuan-perempuan yang bisa masuk dalam bursa pencalonan hanyalah mereka yang suami atau bapaknya berstatus ekonomi sangat mapan.
“Jadi mereka tidak benar-benar paham apa itu politik dan apa tugas-tugasnya di dewan. Mereka terpilih karena mereka anaknya siapa atau istrinya siapa,” kata salah seorang anggota DPRD Jakarta yang tidak ingin disebutkan identitasnya.
“Perempuan yang menjadi caleg juga terkadang tidak pernah masuk dalam struktur pimpinan harian di partai politik. Tiba-tiba mereka masuk di daftar caleg,” kata Khofifah Indar Parawansa.
Khofifah yang pernah menjadi perempuan anggota DPR termuda itu berpendapat caleg perempuan banyak yang diambil secara instan oleh partai, semata untuk memenuhi kuota dan mereka sama sekali tidak matang politik.
Alhasil, caleg-caleg perempuan yang instan ini mungkin saja bisa meningkatkan rasio keterwakilan perempuan di parlemen. Tapi apakah mereka akan membawa aspirasi kepentingan kaumnya menjadi kebijakan yang menguntungkan perempuan? Itu masih perlu diselidiki lebih lanjut.(ant/yan)