Catatan atas 4 Program Strategis Menteri Sofyan Jalil [2]: Reforma Agraria melalui RUU Pertanahan

TRANSINDONESIA.CO – Pertanyaan pertama yang diajukan, apakah sertifikasi tanah itu biang soal pertanahan atau hanya akibat?  Kalau konflik jadi alasan, pertanyaan lanjutan mengapa ada konflik pertanahan yang tak kunjung selesai ? Malah berskala luas, struktural, dan berdampak sosio-politik.

Artinya? Konflik pertanahan, pun demikian sengketa pertanahan dan perkara pertanahan bukan masalah personal, bilateral para pihak, dan urusan perdata belaka.

Soal kuantitas sertifikasi tanah yang hendak dinaikkan dan minimalisasi kasus sengketa tanah, jangan sampai  menyederhanakan  kasus pertanahan bersifat personal, bilateral para pihak, dan urusan perdata belaka.  Namun di sanalah peran dan kehadiran negara dalam memastikan amanat konstitusi dan arah politik pertanahan. Dimana posisi Negara? Jelas:  penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan.

Penulis, Muhammad Joni.
Penulis, Muhammad Joni.

Karena itu, analisa atas problematika pertanahan adalah analisa struktural dan penyelesaiannya tidak berhenti sebagai soal hukum, namun melampaui hukum (beyond the law).  Semisal konflik antara pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang diberikan hak atas tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) versus warga masyarakat atau komunitas dan atau masyarakat hukum adat, jangan dilihat hanya persoalam  hukum formal semata.

Mengacu data BPN (http://www.bpn.go.id/Program/Penanganan-Kasus-Pertanahan), sampai  September 2013  ada 4.223 kasus pertanahan, yang selesai   2.014 kasus (47,69%). Walau angka penyelesaian itu tidak rendah,  BPN jangan melulu  menyelesaikan  kasus pertanahan, tetapi  menata kembali  P4T Berkeadilan ditambah  acces reform.

Sebenarnya  regulasi  BPN sudah mengerti dan membedakan  kasus pertanahan  dengan sengketa pertanahan, perkara pertanahan, dan konflik pertanahan.  Konflik pertanahan bersifat strktural  yang berdampak luas secara sosio-politis.

Tersebab itu, untuk mengatasi konflik pertanahan yang bersifat struktural dan berdampak sosio-politis itu,   tidak  memadai  diselesaikan dengan mekanisme peradilan perdata ataupun tata usaha negara yang sudah ada.  Karena itulah, postulat dan arah politik hukum yang hendak diambil  dengan merancang  peradilan  pertanahan  yang diajukan dalam  Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan. Walaupun disain lembaga peradilan pertanahan versi RUU Pertanahan masih perlu dibedah pada sesi esai berikutnya.

Yang menjadi soal bukan sertifikasi tetapi penyelesaian konflik pertanahan yang berujung kepada terhambatnya sertifikasi tanah. Rendahnya sertifikasi tanah itu  adalah gejala atau simtom bukan penyebab.

Yang utama dalam keadilan pertanahan bukan melulu memperbaiki administrasi pertanahan termasuk pencatatan tanah dengan sertifikasi. Akan tetapi, hulu dari soal konflik pertanahan dan sertifikasi adalah  sengkarut ketidakadilan distribusi tanah, karena itu perlu  reformasi kepemilikan tanah. Tanpa keadilan pertanahan, untuk apa menata administrasi pencatatan pertanahan?

Reforma agraria adalah jawaban atas soal struktural pertanahan di negeri ini. Dasarnya sudah pernah dituangkan dalam Ketapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Teranyar, Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2016, menggariskan prioritas nasional adalah reforma agraria (kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria, penataan penguasaan dan pemilikan tanah,  kepastian hukum dan legalisasi tanah objek reforma agraria,  pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan pelaksanaan).

Intinya, mengamanatkan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan atau sebut saja  P4T Berkeadilan. Joyo Winoto, mantan Kepala BPN menyebutnya  reforma agraria dalam kerangka mandat konstitusi, politik, dan undang-undang untuk mewujudkan P4T Berkeadilan itu dan ditambah dengan acces reform. Menurutnya,  acces reform  itu pembinaan dan fasilitasi akses paska redistribusi tanah, termasuk penyediaan infrastruktur, sarana produksi, bimbingan teknis, dukungan modal, distribusi pemasaran dan lainnya. RUU Pertanahan juga menyebut jenis-jenis akses reform.

Jadi kuantitas sertifikasi tanah kehilangan makna  tanpa meletakkannya dalam konteks reforma agraria, yang kini tertuang dalam RUU Pertanahan.  Reforma agraria adalah jawaban atas problematika kekinian pertanahan dan jawaban  masalah struktural konflik pertanahan. Dengan  reforma agraria melalui redistribusi dan distribusi tanah pada masyarakat yang berhak (asset reform) dan membuka akses kepada warga mengikuti asset reform  dengan mekanisme yang disiapkan negara (acces reform). Mestinya  RUU Pertanahan digiatkan sebagai program strategis.

Bukankah pembuatan Undang-undang adalah legalisasi politik/kebijakan hukum  pertanahan yang valid, sah dan jawaban menyelesaikan banyak soal struktural bangsa? Dengan reforma  agraria dan peradilan pertanahan maka  sertifikasi tanah  yang merupakan  administrasi pendaftaran tanah berjalan mulus.

Penulis: [Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia]

Share
Leave a comment