RTJ [1]: Pastikan, Itu Hak Menguasai Negara

TRANSINDONESIA.CO – Patut diberi apresiasi,   pro kontra  ikhwal  reklamasi perairan Teluk Jakarta Utara (sebut saja Reklamasi Teluk Jakarta atau disingkat RTJ) telah ditanggapi    bijak Pemerintah dengan moratorium. Dihentikan sementara waktu sembari urun rembug memeriksa segala aspek.

Lebih dari moratorium, Presiden minta RTJ diintegrasikan dengan pembangunan tanggul   raksasa  atau  Jakarta  Great  Sea  Wall  (JGSW) untuk  mengatasi resiko “tenggelam”  Jakarta. Proyek strategis nasional itu  dikenal  sebagai National Capital Integrated Coastal Development/NCICD). Hemat penulis, mestinya JGSW sebagai NCICD lebih dimulakan dari reklamasi.

Langkah Pemerintah   menghentikan sementara,   mengindikasikan Reklamasi Teluk Jakarta adalah wewenang   Pemerintah dan dilakoni sebagai tindakan pemerintahan (tindak pangreh), bukan melulu langkah korporatisasi reklamasi.

Penulis: Muhammad Joni
Penulis: Muhammad Joni

Pun demikian, moratorium itu menjadi titik balik untuk memastikan kepatuhan hukum dan perijinan yang diawali dengan pemeriksaan hukum mendalam. Pada seri berikut TRANSINDONESIA.CO akan menurunkan ulasan  aspek apa saja yang patut ditelaah ulang. Bagaimanapun,  objek  reklamasi    itu   adalah  domein   publik.   Mengapa?   Sebab,    objeknya adalah ruang, wilayah perairan persisir, yang  ditimbun menjadi  “tanah timbul”   alias 17 pulau-pulau buatan seluas 5.100 Ha tanah baru.

Ketiga objek itu, baik itu ruang: wilayah perairan, dan tanah timbul yang menjadi pulau buatan, adalah  ranah  Hak Menguasai Negara.  Menurut Prof.Dr. A.P. Parlindungan, S.H., merujuk Pasal 1 dan 2 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ikhwal bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.

Tersebab  itu,  perairan   pesisir   pun   termasuk   rezim   hukum  agraria   versi   UUPA.    “Adanya penambahan ruang angkasa tidak berarti menambah-nambahi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka dapatlah kita katakan bahwa penambahan itu hanya bersifat deklaratif, dan bersifat konstitutif”, tulis mantan  Rektor  Universiras  Sumatera   Utara  (USU)  itu   dalam   bukunya  “Komentar  Undang-undang Pokok Agraria”.

Apa status tanah hasil reklamasi?  Rujuklah  PP Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yang dalam Pasal 12 menegaskan bahwa   tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.

Idemditto Surat Menteri Negara Agraria No. 410-1293 tanggal 9 Mei 1996 tentang Penertiban Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi, menyatakan bahwa   tanah timbul dan tanah reklamasi adalah tanah negara dengan HMN.

Jelaslah bahwa ruang, perairan pesisir, maupun tanah timbul yang kemudian menjadi 17 pulau-pulau buatan   sebagai   hasil   reklamasi itu,   otentik dan sahih dalam status sebagai   Hak Menguasai Negara (HMN).

Yang nantinya ditetapkan sebagai Hak Pengelolaan  (HPL) yang tidak lain adalah formalisasi HMN itu sendiri untuk keperluan tertentu.  Walaupun HPL itu tidak termasuk jenis-jenis hak dalam UUPA, namun  dengan regulasi di luar UUPA acap diterbitkan Sertifikat HPL.

Pemerintah DKI Jakarta tidak usah gusar, sebab jika merujuk  kepada Kepres No. 52 Tahun 1995, HPL itu diberikan atas nama  Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan HPL itu dapat pula diberikan hak-hak atas tanah kepada pemohon.

Jangan ragu, ikhwal tanah dan pemberian hak atas tanah adalah urusan dan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tersebab itu,  permohonan dan pemberian hak di atas HPL apakah Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, ataupun Hak Pakai, ditetapkan oleh  dan melalui BPN. Aneh jika BPN  tidak disebut dalam komite bersama. Pun demikian Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mengawangi urusan infrastruktur dan perumahan.

Apakah sudah diterbitkan HPL? Apakah pemberian hak atas tanah timbul yang bertentuk pulau-pulau buatan sudah dimohonkan dan diputuskan pemberian hak?

Sudahkah diterbitkan sertifikat hak atas tanah sebagai tanda bukti hak, dan diberikan atas nama siapa?  Bukankah Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) mensyaratkan hak atas tanah? Tentu saja, pemberian hak dan penerbitan sertifikat bisa dilakukan   jika sudah ada objek tanah timbul atau hasil reklamasi berupa pulau-pulau buatan.

Karena itu, Pemerintah disarankan melakukan telaah mendasar ikhwal RTJ. Yakni,  memosisikannya sebagai kebijakan nasional dan tindakan pemerintahan, bukan melulu korporasitisasi dan seakan wewenang tunggal dan mutlak pada daerah.

Mengapa?  Karena objek reklamasi berurusan dengan tata ruang, pertanahan/agraria, perairan/kelautan yang   merupakan ranah HMN. Ketahuilah, HMN bersaudara kandung dengan 2 (dua) hak konstitusional  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,  yakni: (1) “dikuasai   oleh   negara”,  (2) “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Mengabaikan peran Negara   dalam bentuk apapun menegasikan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tidak adanya perijinan, belum tersedianya regulasi, dan pengabaian hukum lainnya adalah vis a vis  peran Negara sebagai  “tuan  penjaga” kemakmuran rakyat.  Tepatnya,  “sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Andaipun  menggunakan Kepres No. 52 Tahun  1995, diakui peran Perintah pusat. Kepres era  Presiden Suharto yang ditetapkan 13 Juli 1995 itu mensyaratkan pembentukan Badan Pengendali.

Tugasnya?  Mencakup  perencanaan,  pelaksanaan dan pengelolaan reklamasi. Maksudnya, ya mengelola pulau-pulau buatan itu. Tak hanya itu,   tugas Badan Pengendali  diarahkan   oleh  Tim  Pengarah yang terdiri  Kepala BAPPENAS, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Lingkungan Hidup,  Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Agraria/Kepala BPN.

Sudah tepat  moratorium Reklamasi Teluk Jakarta  mengusung Badan  Pengendali dan  Tim Pengarah. Tak sekadar komite bersama (joint committee) yang tidak ditemukan rujukannya dalam Kepres No. 52 Tahun 1995.

Mengapa itu diulas?  Sebab, diwartakan Komite Bersama hanya terdiri atas  dua eselon dua dan dua eselon satu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dua eselon dua dan dua eselon satu dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selain itu, ada juga dua eselon dua dan dua eselon satu dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), anggota dari Sekretaris Kabinet (Sekab), dua deputi dan Kepala Biro Hukum dari Kementerian Koordinator  Bidang Kemaritiman.

Sementara itu, dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ada deputi Gubernur, Ketua Bappeda, asisten pembangunan,  deputi Tata Ruang, dan Dinas Kelautan, Biro Hukum serta Tim Gubernur  dan percepatan.

Jika konsisten menggunakan Keppres No. 52 Tahun 1992, yang dibentuk  Badan  Pengendali dan  Tim Pengarah,  bukan sekadar Komite Bersama. Pun demikian, Gubernur DKI Jakarta diamanatkan  membentuk Badan Pelaksana yang secara operasional dapat melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain atau swasta.

Nah,  dititik inilah diakui  peran  swasta  membantu   Badan Pelaksana, tentu atas perintah dan dibawah kendali Pemerintah.

Biayanya?  Menurut Pasal 12  Kepres No.  52  Tahun  1992, segala biaya dilakukan  secara mandiri oleh Gubernur DKI Jakarta namun dapat bekerjasama dengan swasta, masyarakat  dan sumber lain yang sah. Kua juridis, swasta penting dilibatkan, tak kalah  penting melibatkan partisipasi  publik dan hak-hak komunal masyarakat lokal.

Terang benderang, Reklamasi Teluk Jakarta adalah  kebijakan  dan  tindakan  pemerintahan, bukan melulu korporatisasi ruang,  wilayah  perairan,  dan  tanah timbul.   Tak  usah risau, reklamasi adalah keniscayaan bagi Jakarta dengan dengan rambu peraturan perundangan, atas dasar HMN, dan dilakukan  demi sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute]

Share
Leave a comment