Pentingnya Peran Dokter Menuju JKN Paripuna: Komplemen atas Esai Chazali Husni Situmorang
TRANSINDONESIA.CO – Tulisan bagus bertitel “Pelayanan JKN ‘Paripurna’” dilansir Dr. Chazali Husni Situmorang, Direktur Social Security Development Institute, yang pernah menjabat Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan sekarang mendedikasikan dirinya sebagai Ketua Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU) Jakarta dan sekitarnya. Penulis membaca dan meresapinya di laman jurnalsocialsecurity.com
Dalam rangka memperingati 3 tahun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Chazali mengulas betapa JKN sudah paripurna. Seakan hendak mengatakan, layanan JKN bukan “ecek-ecek”, karena mencakup segenap penyakit pasien atau disiapkan melakoni pelayanan paripurna, bukan pelayanan bersifat inferior yang ditulis Chazali Husni Situmorang sebagai bukan semata-mata untuk orang misin dan tidak mampu. Jangkauan luas juga disebut sebagai agenda JKN, dengan menggandeng BPS lebih memastikan siapa 92,4 juta penduduk miskin yang berhak atas Penerima Bantuan Iuran (PBI) itu?
Berkenan dan terpanggil pula patik hendak menyumbang pendapat sederhana ikhwal JKN yang bermetamorfosa menjadi paripurna itu. Apakah yang dimaknai dengan JKN Paripurna. Siapakah stakeholder JKN di garda depan yang memberikan sentuhan pertama peserta JKN? Seperti orang sakit pergi ke rumah sakit, Puskesmas atau klinik, tentu yang hendak ditemui dan menyentuhnya pertama kali adaah dokter, atau dokter gigi. Bukan Direktur rumah sakit, kepala Puskesmas, atau pimpinan klinik.
Pun demikian JKN memparipurna itu, dalam pandangan awam, tidak mungkin JKN tanpa peran dokter digarda depan, dan tak mungkin pula JKN tanpa kehadiran pasien. Jadi, JKN menjadi praksis konkrit jika ada dokter, obat, alat/fasilitas kesehatan dan tentu saja, pasien.
Berangkat dari sana, hemat patik, sepertinya ada yang dilupakan atau lewat dari derap gempita JKN yang memparipurna itu. Apa itu? Mari menguasnya perlahan, sembari mereguk setangkup kopi mandhailing, dan tanpa asap rokok.
Dokter = Stakeholder JKN “Paripurna”
Penulis berasumsi, seakan pelayanan kesehatan kepada peserta ataupun warga miskin penerima PBI itu hanya JKN saja. Selanjutnya, penyelanggaraan JKN hanya domein BPJS dan Kementerian Kesehatan, ditambah provider layanan Rumah Sakit (RS), Puskesmas, klinik, atau fasilitas kesehatan (faskes) lainnya.
Akankah hanya itu saja pihak yang menjadi stakeholder existing pelayanan JKN? Bukankah tak mungkin JKN tanpa dokter/dokter gigi, farmasis serta serta tenaga kesehatan (Nakes) lain? Yang setiapnya juga diwadahi Organisasi Profesi (OP). Hemat saya, OP itu bukan bagian luar dari JKN, malah sari pati dari layanan JKN di garis depan. Valid, jika mereka idemditto adalah stakeholder JKN.
Apakah memang organisasi pofesi dokter yang bernaung dalam wadah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berikut OP lain sudah dilibatkan dalam membuat kebijakan JKN, misalnya dalam hal ikhwal menentukan tarif fee dokter, menentukan protokol layanan medis, dan sebagainya yang relevan. Bukankah dokter memiliki Standing Instruction dan kemandirian dalam menentukan tindakan medis, lantas bagaimana menaungi itu? Sebab, sebagai pihak yang berada di garda depan melayani pasien, pantas diandalkan dan menjadi bagian utama JKN.
Itu soal dokter/dokter gigi, dan Nakes lain di layanan primer. Bagaimana pula dengan pasien atau warga miskin penerima PBI itu, apajah mereka hanya pasif nrimo kebijakan JKN, atau adakah celah menjadikannya sebagai kontributor bagi pengembagan kebijakan JKN menuju paripurna? Siapa pula yang mewakili kepentingan dan hak-hak pasien idemditto rakyat peserta JKN itu? Adakah kepentingan dan hak mereka diwadahi seperti halnya konsumen atau perhimpunan peserta pengiur? Hemat saya, peserta JKN itu adalah stakeholder JKN juga.
Kesehatan = Hak Konstitusional “Kembar”
Kua konstitusional, JKN bukan satu-satunya kewajiban negara (state obligation) terkait kesehatan. Sebab, dalam UUD 1945 diakui dan dijamin hak konstitusional atas jaminan sosial versi Pasal 28H ayat (3) UUD 1945, juga tak boleh dilupakan hak konstitusional atas pelayanan kesehatan versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Ada justifikasi mengapa keduanya dibedakan, walau masih dalam satu bab ikhwal hak asasi manusia (HAM). Keduanya hak konstitusional “kembar” yang terkait erat hak atas kesehatan.
So.., hemat saya JKN yang paripurna sekalupun jangan tergopoh mengasumsikannya sebagai wujud tuntas dan tunggal dari state obligation ikhwal pelayanan kesehatan masyarakat, atau sebut saja yankesmas. Bisa jadi pula, dengan perkembangan zaman dan kebutuhan, jaminan sosial era platinum bergeser dan bukan lagi jaminan kesehatan ala JKN saat ini. Bukankah, pelayanan kesehatan semakin berkembang pesat.
Setidaknya, perlu upaya membangun integrasi dan kombinasi kedua hak konstitusional itu. Agaknya, bang Chazali Husni Situmorang yang pakar jaminan sosial yang sekaligus pernah memegang kendali utama dalam otoritas kebijakan jaminan sosial nasional, perlu membuat meresapi dan bersiaga menuliskan esai lanjutan, bahwa integrasi dan kombinasi itu bukan naif dan keliru. Namun, harus ada paradigma dan upaya luar biasa (extraordinary), menerobos, dan out of the box untuk kedua hak konstitusi itu menuju era JKN platinum. Penulis bersiap menyerap dan memahami, sembari tidak mengurangi daya kritisi.
Bukankah prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial adalah semakin meluas dan meningkatnya layanan utama yang diberikan kepada peserta. Baik kualitas maupun kuantitas layanan. Artinya, bukan berorientasi kepada semakin besarnya pendapatan alias aset BPJS sebagai badan hukum publik yang bersifat nirlaba.
Lima Catatan
Jika hendak diintegrasikan dan dikombinasikan hak konstitusional atas jaminan sosial dengan hak konstitusional atas pelayanan kesehatan, berkenan saya mencatat 5 (lima) hal.
PERTAMA: Menjadikan JKN paripurna dengan mengintegrasikan hak jaminan sosial dan yankesmas, maka dititik itu terbit arti pentingnya dokter/dokter gigi, farmasis berikut OP masing-masing dilibatkan sebagai stakeholder JKN dan yankesmas. Sehingga, tetiap OP mesti diposisikan setara dengan BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan (Kemkes) maupun provider faskes sebagai stakeholder utama dalam policy forming JKN idemditto mendisain protokol medis plus perlindungan hak-hak tenaga medis dan Nakes anggota tetiap OP yang menjadi wadah bagi dokter/dokter gigi dan Nakes lain. Apa jadinya JKN tanpa tenaga media dan Nakes?
KEDUA: Status dan porsi iur yang dibayarkan Pemerintah yang bersumber dari APBN untuk peserta PBI yang miskin dan tidak mampu menyetorkan iur, adalah kewajiban negara dalam hal ini Pemerintah, Karena itu, elok dan konstitusional jika semakin meningkat beban iur Pemerintah membuktikan semakin hadirnya negara. Tak perlu alasan teknis ataupun ekonomis terlalu diajukan untuk menghadirkan keluhan Pemerintah akibat beban APBN untuk PBI yang meningkat.
Karena itu eskalasi alokasi fiskal PBI jangan pula dikeluhkan BPJS Kesehatan dalam asumsi beban fiskal, karena secara akuntansi justru menjadi kredit bagi kemajuan pembangunan manusia Indonesia sebagai indeks pembangunan manusia. Apalagi baru 3 tahun Pemerintah menyelenggarakan JKN, karena sudah begitu lama telat membuat terobosan dan ijtihat kenegaraan membangun SJSN utamanya JKN. Menuju JKN paripurna dan/atau malah JKN versi yang semakin platinum itu, sangat terbuka dengan mengintegrasikan dan kombinasikan sumber daya, sistem, dan anggaran demi kemajuan indeks pengembangan manusia Indonesia. Jadi, jangan enggan menyiapkan “road map” alternati dengan mengintegrasikan amanat dan kewajiban Pemerintah atas JKN dan yankesmas versi UU BPJS dengan UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan (Nakes) dan UU Praktik Kedokteran (Prakdok).
Dititik ini integrasi kebijakan dan harmonisasi program serta pengakuan dokter/dokter gigi dan Nakes sebagai stakeholder utama JKN, serta menghargai aspirasi dan suara pasien/peserta JKN itu sendiri patut disegerakan. Dengarkanlah suara mereka, demi JKN Paripurna bahkan JKN versi platinum di era masa depan.
KETIGA: Untuk memparipurnakan JKN maka sistem layanan kesehatan (primer, skunder, tersier) mesti dioptimalkan, dengan melibatkan aktor utama di garda depan yakni tenaga medis dan Nakes. Dokter umum sebagai gate keeper yang melakukan layanan primer, tidak akan optimal bekerja tanpa tersedianya obat/farmasi, alat kesehatan pada fasilitas kesehatan (faskes), karena itu faskes untuk JKN adalah lebih diutamakan.
Jangan herankan jika dokter umum melakukan rujukan tindakan medis, jika faskes tanpa disertai alat kesehatan yang memadai pada faskes, sehingga seakan-akan layanan primer “gagal” mengerem pasien kepada layanan sekunder atauun tersier. Pun demikian, RS publik milik negara mesti diperbanyak, diperlengkapi dengan fasilitas modertn dan diperluas jangkauannya. Sebagi anasir utama agar faskes itu kompatibel menjalankan layanan JKN paripurna ataupun JKN versi platinum.
Penulis mendengar percakapan dengan dokter sewaktu pertemuan di markas IDI, bahwasanya tantangan layanan primer itu adalah soal ketersediaan obat, alat dan kelengkapan faskes, bukan ditanggapi hanya soal kompetensi dokter/dokter gigi dan Nakes. Saya mendengar betapa ikhwal terpenting adalah ketersediaan obat dan faskes, seperti juga penulis baca dalam banner dokter anggota IDI setakat turun ke jalan menolak Dokter Layanan Primer (DLP).
Tak elok dan lemah rasionalnya jika justru “memaksa” dokter umum menjadi DLP. Sebab, kapasitas/kompetensi dokter umum (general practitioner/GP) diakui kalanan IDI sudah sanggup menangani pasien JKN di garda depan secara mandiri, asalkan tersedia obat, alat pada faskes. Lagi pula, untuk apa membangun dikotomi GP dengan DLP, padahal Indonesia masih kekuarangan dokter. Pun demikian, untuk apa menyediakan kelas baru DLP, padahal jika pun lulus pendidikan DLP dan menjadi DLP, namun tidak ada slotnya dalam sistem registrasi dokter pada KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Sebab, KKI tidak mengenal DLP dalam menerbitkan STR (Surat Tanda registrasi). Lantas, siapa melegalisasi DLP?
KEEMPAT: Dengan demikian maka tidak logis dan diluar konteks jika dokter/dokter gigi yang dilibatkan dalam JKN wajib dengan status DLP, sebab itu berarti menghambat peran dan “memutilasi” hak konstitusional dokter umum yang mampu melakukan layanan medis mandiri atas 80% jenis penyakit pasien. Lagi pula, dalam proses pendidikannya sudah memiliki kemampuan sesuai SKDI 2012. Tambahan lagi, pendidikan berkelanjutan dokter (countiniuous profesional development/CPD) sudah dijalankan Kolegium IDI dengan mandat UU Praktik Kedokteran (UU Prakdok) dengan melaksanakan program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Jadi, kalaupun dianggap perlu tambahan ketrampilan layanan primer, sudah ada solusinya dengan P2KB.
So…., tak perlu DLP sebagai syarat mengikuti JKN karena akan membebani dokyer umum sebab biaya pendidikan DLP mahal, setara pendidikan spesialis namun bukan spesialis. Ahaa.., masihkah ada program pendidikan spesialis yang murah.
Seabagi garda depan, dokter umum yang jika diikutkan dalam layanan JKN mesti sebagai DLP, maka mereka mengikuti prodi DLP dengan menyiapkan diri sendiri secara mandiri dan dengan biaya sendiri untuk menjadi DLP yang notabene mahal, mungkin akibat pendidikan tinggi yang berbasis komersial.
Namun sebaliknya, dokter umum ataupun DLP rela dibayar dengan basis fee sosial ala tarif JKN. Ada padadoksal kebijakan, karena untuk menjadi DLP dengan mengikuti pendidikan DLP yang setara spesialis dan berbasis biaya “komersial” namun setelah menjadi DLP dan menjadi bagian JKN atau masuk ke dalam sistem yang pembayaran jasanya berbasis fee jaminan sosial ala JKN.
KELIMA: Mestinya, kalaupun DLP mau diteruskan, patut dan beralasan jika Pemerintah membiayai sebagian besar GP menjadi DLP, khususnya untuk daerah terpencil dan kelurangan dokter. Atau, menghapuskan syarat DLP. Itu lebih pas untuk memastikan JKN paripurna ataupun menuju road map JKN versi platinum.Wawlahualam.
]Muhammad Joni,S.H,M.H, -Ketua Masyakat Konstitusi Indonesia, Mendampingi IDI, PDGI, KKI pada uji materil UU Nakes di MK, dan Kuasa Hukum PDUI dalam Uji Materil UU Pendidikan Kedokteran]