Relasi Tidak Senonoh
TRANSINDONESIA.CO – Mengamati situasi politik dan peekonomian untuk kesejahteraan masyarakat, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, mengulas tajam namun sangat gamblang dipahami.
Bagaimana tidak, ulasan politik gaduh yang tak berkesudahan merefleksikan tergooh-gopohnya pemimpin membuat dan memutuskan suatu kebijakan yang tidak pro rakyat.
Akibatnya mulai harga jengkol, tempe, tariff tol, angkutan, listrik sampai harga rumah rakyat yang digadang-gadang sebagai program sejuta rumah justru semakin jauh dari jangkauan rakyat.
Berikut tulisan dengan judul “Sejahtera Alasan Bernegara” dibagi menjadi tiga bagian yakni, “Sejahtera Alasan Bernegara”, “Relasi Tidak Senonoh”, dan “Daulat Kesejahteraan Rakyat”.
“Relasi Tidak Senonoh”:
Ajaran yang memisahkan daulat politik dengan daulat ekonomi, agaknya berpendapat bahwasanya ekonomi tidak perlu intervensi negara. Cukup dengan mekanisme pasar. Membiarkan hukum pasar bebas yang bekerja.
Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan dan kemauan masing-masing pribadi serta kompetisi dengan sesamanya dalam mekanisme pasar bebas. Negara hanya mengurus kepala dan tangan, tamsil untuk politik. Tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial.
Tentu, ini penyataan kolot yang absurd bahkan primitif sekali.
Namun, kua praktik, primitifisme relasi negara dengan rakyat itu, kinipun masih terjadi dalam bentuk relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil.
Membiarkan rakyat berjuang mengisi perutnya sendiri, tak terkendalinya harga daging, importasi buah mematikan petani lokal, melonjaknya harga kedelai, kartel perdagangan migas, korupsi dengan kebijakan, skandal suap, eksploitasi korporasi plat merah, dan ragam bentuk penyalahgunaan jabatan, adalah metamorfosa haram primitifisme relasi antara negara dengan rakyat. Yang memisahkan esensi kekuasaan politik dari ihtiar mensejahterakan rakyat.
Itu adalah reproduksi pikiran kolot yang memisahkan antara Imperium dengan Dominium.
Menurut Muhammad Hatta, pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (sebut saja Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh”. [vide Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal.2, dalam Jimly Asshiddiqie, hal.123].
Sungguh, sejarah yang tidak senonoh lahir dari pemikiran yang tidak senonoh, atau primitifisme relasi negara dengan rakyat. Senada dengan Hatta, founding fathers kita, Bung Karno merumuskan jargon berikut ini: Demokrasi Politik + Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial.
Tak heran jika pemikiran maju itu, mengilhami founding fathers merumuskan Pembukaan UUD 1945 dan menuangkan ke dalam konstitusi Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial.
Pun dilakukan amandemen, dalam Perubahan Keempat, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial makin dipertegas relasi tak terpisah anatara demokrasi ekonomi dan politik. Kesejahteraan menjadi alasan bernegara.
Membiarkan harga naik dan rakyat miskin menderita karena hukum pasar dan kekuasaan harga, meminjam Muhammad Hatta, adalah relasi yang “tidak senonoh” negara terhadap rakyatnya.
Tepat, jika didengung-dengungkan bahwa tidak relevan membedakan antara konsep “Imperium” versus “Dominium”. Setuju dengan Jimly Asshiddiqie, bahwa rakyat menurut paham moderen, berdaulat di lapangan politik dan perekonomian [Jimly Asshiddiqie, hal.122-123].
Maksudnya? Rakyat tidak hanya berdaulat kepada Republik Indonesia, lantas titik sampai di situ, right or wrong is my country (baik atau buruk adalah negeriku). Akan tetapi berdaulat secara eknomi atas terciptanya Rakyat Indonesia sejahtera untuk semua.
Penulis: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia-MKI]