TRANSNDONESIA.CO – Hidup adalah anugerah dan penuh dengan harapan dan tantangan yang juga perlu perjuangan, sekaligus dapat menjadi ancaman.
Tatkala melihat semua itu, rasa-rasanya berat bahkan melihat fakta yang ada sering kecewa dibuatnya. Hati yang kecewa sama dengan hati yang terluka.
Semakin dalam lukanya semakin berat untuk merapatkanya. Semakin kita tidak mampu merapatkannya, sebenarnya hati telah rapuh dan sebentar lagi patah.
Dipikiri terus menerus menjadi kekhawatiran mendalam, tidak dipikir akan menjadi kenthir (gila).
Hidup memang berat namun semestinya bisa dinikmati. Menikmati itu bukan menikmati melainkan mampu berdamai antara harapan dengan kenyataan, antara keinginan dengan kemampuan, antara cita-cita dan fakta yang ada, antara yang waras dengan yang gila.
Berdamai dalam konteks ini adalah mampu mensyukuri. Disinalah peran penting agama menjadi penyeimbang dan penguat hati untuk bisa menikmati bahkan mengutakan hati yang telah rapuh.
Tatkala diberi banyak pekerjaan menjadi bersyukur banyak yang masih jadi pengangguran. Diberi banyak cobaan hidup disyukuri masih bias dan mampu menghadapinya. Banyak yang setres dan gila akibat cobaan yang tak mampu diatasinya.
Diberi sakit bersyukur masih diberi kesempatan menjadikan silih atau penghapus atas kesalahan dan dosa. Banyak yang tidak diberi kesempatan karena langsung dipanggila Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak hal lagi yang sebenarnya bisa dinikmati yakni, menikmati waktu, alam, atau menikmati atas benda-benda bergerak dan benda-benda mati serta menikmati udara yang bisa kita serap dalam nafas kehidupan.
Menikmati merupakan suatu kecerdasan batin untuk tidak larut dalam berbagai kesusahan dan penderitaan. Menikmati menjadi tanda rasa syukur atas hidup dan kehidupan. Menjadikan sehat dan penuh harapan walau terus digerus kekecewaan, namun bertahanlah dengan rasa positif hingga hidup ini ternikmati. (CDL-Jkt080515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana