TRANSINDONESIA.CO – Aparatur penyelenggara negara baik legislatf, eksekutif, yudikatif spiritnya adalah memajukan bangsa, menganagkat harkat dan martabat rakyatnya.
Aparatur-aparatur negara colonial atau feodal tak jarang menjadi dept colector atas produk-produk dan kekayaan rakytnya.
Pelayananya bukan bagian membayar hutang kepada rakyat, malahan rakyat yang harus berhutang kepada sang aparat. Rakyat kadang terasa sekarat karena saratnya beban bagi kemuliaan sang aparat.
Menjadi aparat apalagi menjabat menjadi idola, disini senang disana senang. Sedikit kerja banyak kemudahan dan hak istimewa dan banyak pula yang dibawa pulang.
Rakyat sebenarnya ingin teriak atau mengadu atas perilaku sang aparat yang menjadi pengerat dan penyengsara rakyat atau tatkala sang aparat menghianati amanah dari rakyatyanya.
Tapi kepada siapa disana-sini tenang-tenang saja tidak ada yang marah tidak ada yang protes. Ini sebuah ketidak warasan atau keputus asaan?
Sesama pasien rumah sakit jiwa saling uji kewarasan, masing-amsing diantara mereka mengklaim adalah yang paling waras dan menuding gila temanya yang lain.
Tatkala sang aparat “lali” (lupa yang bisa dimanakanai gila), mereka saling mengklaim dirinya atau kelompok yang benar, saling menyalahkan. Yang lebih memuakan saling berebut kekuasaan tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa malu mereka pertontonkan.
Aparat bagi bangsa yang telah merdeka tentusadar dirinya adalah dari dan untuk rakyatnya. Aparat bagi bangsa yang merdeka dituntut memiliki komitmen untuk menjadi patriot bangsa.
Namanya patriot adalah pejuang, pelopor dengan semangat kepahlawanan berjuang demi bangsa dan negranya tanpa hitung-hitungan wani piro, entok piro.
Aparat dituntut memiliki kompetensi, yang bermakna memiliki keahlian atau profesional dalam bekerja. Tahu apa yang mesti diperbaikinya, apa yang dibutuhkan rakyatnya dimasa kini dan mampu menyiapkan generasi se;anjutnya lebih baik.
Aparat dituntut juga memiliki hati nurani, pelayanannya tidak dijadikan lahan pemalakan. Komitmen, kompetensi dan hati nurani tersebut merupakan standar kewarasan aparat. Tatkala ada aparat yang memalak? Lagi-lagi analogi pasien rumah sakit jiwa bisa jadi cerminan bagi aparat tersebut.(CDL-Jkt060515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana